Pages

Tuesday, December 28, 2010

Tanah Ultisol

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri dan Mulyadi 1993).
Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.
2.1.1. Ciri Morfologi
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8.
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Schwertmann dan Taylor 1989).
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.

Friday, November 19, 2010

Eksplan

Eksplan adalah potongan/bagian jaringan yang diisolasi dari tanaman yang digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), ekplan yang dipilih harus merupakan bagian-bagian tanaman yang mempunyai sel aktif membelah (sel meristem), karena pada bagian-bagian sel ini mengandung hormon tanaman yang baik untuk membantu pertumbuhan. Pengambilan eksplan dari jaringan dewasa (in diferensiasi) dalam waktu lama tidak akan terbentuk kalus, sebab kemampuan untuk membentuk jaringan tidak ada. Meskipun dari tanaman dewasa ini terjadi penambahan volume, tetapi tidak terjadi penambahan sel sebab tidak mengalami pembelahan sel. Sedangkan pada jaringan meristem akan terjadi penambahan sel. Pada prinsipnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tanaman baik dari jaringan akar, batang, dan daun. Biasanya sebagai bahan eksplan dipilih bagian-bagian jaringan yang belum banyak mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi atau dipilih bagian-bagian yang bersifat meristematik (Majnu 1975 dalam Wattimena et al.1986).
Pemakain tunas pucuk, tunas samping, tunas bunga, daun bunga, daun, cabang muda, akar, umbi, bagian-bagian embrio, anther, dan beberapa bagian lainnya sering dilakukan dalam kultur jaringan beberapa tanaman tertentu (Haramaki dan Heuser 1980 dalam Wattimena et al.1986).
Eksplan pada awal penanaman masih mengandung zat pengatur tumbuh endogen yang dibentuk pada tanaman sebelum eksplan dikultur. Setelah zpt endogen pada eksplan habis terpakai, maka zpt mediumlah yang ditambahkan yang paling banyak berperan untuk induksi kalus (Pandiangan, 2006).
Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai kultur jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula, seringkali dikehendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe jaringan. Oleh karena itu Pierik (1997) dalam Zulkarnain (2009) mengemukakan bahwa tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan adalah genotipe, umur, dan kondisi fisiologis eksplan.
Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya, tanaman dikotil lebih mudah berproliferasi secara in vitro dibandingkan tanaman monokotil. Tanaman yang umumnya mudah diperbanyak secara vegetatif konvensional akan mudah pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan (Zulkarnain, 2009).

Zat Pengatur Tumbuh


Pada pertengahan 1800-an, ahli fisiologi tumbuhan bangsa Jerman, Julius Von Sachs, menduga bahwa bentuk tumbuhan disebabkan oleh adanya kegiatan senyawa-senyawa pembentuk organ yang bersifat spesifik. Akan tetapi, usaha untuk mengisolasi senyawa tersebut belum berhasil. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa tumbuhan mengandung senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi proses-proses biokimia yang akhirnya mengakibatkan pembentukan organ dan aspek-aspek tumbuh lainnya. Senyawa-senyawa tersebut saat ini digolongkan sebagai auksin, giberrelin, sitokinin dan fenolik. Disamping kelompok senyawa tersebut, ada dua senyawa lain, yaitu etilen dan asam absisik. Secara keseluruhan senyawa-senyawa tersebut dikenal sebagai fitohormon (Heddy, 1989).
Walaupun hormon tumbuhan  memiliki fungsi yang sama dengan hormon  pada manusia ataupun hewan, ada sedikit perbedaan diantara keduanya. Hormon tumbuhan atau lebih sering disebut fitohormon merupakan senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan untuk dipindahkan ke bagian lain dan mampu menimbulkan suatu respon fisiologis meskipun konsentrasinya rendah. Respon pada organ sasaran tidak perlu bersifat memacu karena proses seperti pertumbuhan ataupun diferensiasi terkadang malah terhambat oleh suatu hormon. Karena itulah dapat dikatakan bahwa setiap hormon mempengaruhi respon pada beberapa bagian tumbuhan dan respon tersebut bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase tumbuh, interaksi antar hormon, serta beberapa faktor lingkungan (Salisbury dan Ross, 1995).
Seiring dengan berkembang pesatnya dunia pengetahuan, khususnya teknik kultur jaringan, para peneliti berhasil mensintesis senyawa-senyawa yang dinamankan fitohormon dimana fungsi dan mekanisme kerja hormon sintetik tersebut tidak jauh berbeda dengan hormon tumbuhan alami. Fitohormon sintesis itu dikenal dengan nama zat pengatur tumbuh/ ZPT. Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan(Abidin, 1995 dalam Wulandari, 2004). Zat pengatur tumbuh angat diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam media,  pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Gunawan (1990) dalam Nisa dan Rodinah (2005) menyebutkan bahwa dua golongan  zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam teknik kultur jaringan adalah sitokinin dan auksin. Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ (Wulandari, dkk., 2004).

Spesies Allopatrik



Perbedaan proses spesiasi dapat ditentukan pada langkah pertama atau bagaimana suatu populasi menjadi terisolasi secara genetik. Karena itulah proses spesiasi geografik diawali dengan adanya geographic barrier atau pembatas geografis seperti gunung atau samudra. Pembatas geografis tersebut menyebabkan terganggunya gen flow antara dua populasi yang sama sehingga terjadi isolasi genetik antara populasi yang satu dengan yang lain (Ridley, 1991). Isolasi genetik tersebut menyebabkan bertambahnya perbedaan genetik (Genetic divergence) antara dua populasi secara bertahap sehingga tercipta dua populasi yang berbeda secara genetik dimana populasi yang terbentuk adalah populasi yang mampu beradaptasi pada tekanan lingkungan ataupun mutasi genetik.
Selanjutnya masing-masing populasi tersebut akan terisolasi secara reproduktif (reproductive isolation) yang artinya adalah spesies dari  kedua populasi tersebut tidak dapat melakukan interbreeding untuk mendapatkan keturunan sekalipun suatu waktu pembatas geografis tersebut hilang dan kedua populasi bertemu. Sehingga terbentuklah spesies karena adanya pembatas geografis atau spesiasi geografik. Spesies yang terbentuk akibat barrier geografis tersebut dinamakan spesies allopatrik.
 Misalnya populasi tupai antelope di Grand Canyon. Tupai antelope tersebut terbagi menjadi dua spesies yang hidup pada sisi tebing yang berlawanan. Pada sisi selatan hidup tupai Harris (Ammospermophilus harris), sedangkan pada sisi utara hidup tupai antelope berekor putih (Ammospermophilus leucurus). Meskipun suatu saat penghalang diantara kedua jenis tupai tersebut hilang, keduanya tidak dapat melakukan interbreeding atau terisolasi secara reproduktif karena memiliki perbedaan genetik (Campbell, 2002).

Wednesday, November 17, 2010

Kultur Jaringan Jati

Jati (Tectona grandis L.f.) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi dan  termasuk dalam famili Verbenaceae. Penyebaran alami tumbuhan ini meliputi negara - negara India, Birma, Kamboja, dan Thailand. Di Indonesia jati merupakan tumbuhan eksotik yang dikembangkan untuk berbagai kebutuhan diantaranya untuk bahan bangunan seperti kusen, pintu, jendela, flooring, dll, juga sebagai bahan baku furniture seperti meja, kursi, lemari, perabor rumah tangga, dll. Penyebaran jati di Indonesia seperti di Jawa, Muna, Buton, Maluku dan Nusa Tenggara. Pohon Jati cocok tumbuh di daerah musim kering agak panjang yaitu berkisar 3-6 bulan pertahun. Besarnya curah hujan yang dibutuhkan rata-rata 1250-1300 mm/tahun dengan temperatur rata-rata tahunan 22°-26° C. Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi jati umumnya tanah bertekstur sedang dengan pH netral hingga asam (Irwanto, 2006).
Budi daya hutan jati akan membantu mengatasi masalah kekurangan pasokan kayu jati ke pasaran baik di dalam maupun  luar negeri di masa yang  akan datang.  Pada saat  ini pasokan kayu  jati lokal  diperkirakan  hanya  mampu  memenuhi  kurang  dari  30%  jumlah  permintaan  yang  ada.  Situasi  ini menyebabkan  harga  kayu  jati  terus meningkat  dari  tahun  ke  tahun. Di  lain  pihak  permintaan  ekspor  atas produk  hasil  olahan  kayu  dan mebel meningkat  tajam,  yang  akhirnya memperbesar jurang antara jumlah pasokan dan  permintaan (Irwanto, 2006).
Saat ini, telah tersedia dan dikembangkan tanaman jati unggul yang memiliki siklus umur panen relatif pendek (fast growing teak) yang berasal dari pohon induk terpilih. Namun, untuk menyediakan tanaman jati unggul dalam jumlah banyak sulit dilakukan hanya melalui perbanyakan konvensional (stek atau sambungan) saja. Oleh karena itu, saat ini banyak digunakan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan.  Bahkan kombinasi antara teknik kultur jaringan yang menyediakan materi vegetatif yang bersifat juvenil dengan teknik stek pucuk untuk perbanyakan skala masal merupakan solusi terbaik dalam mendapatkan bibit unggul jati yang seragam, dengan biaya lebih murah, dan dalam waktu lebih singkat.
Selama pelaksanaan proses kultur, banyak sekali masalah yang muncul sebagai pengganggu atau bahkan menjadi penyebab tidak tercapainya  tujuan kegiatan kultur  yang dilakukan. Salah satu gangguan yang sering terjadi dalam pelaksanaan kultur jaringan biasanya berasal dari individu tumbuhan atau eksplan yang digunakan. Misalnya, tumbuhan berasal dari alam/lapangan, kondisi tumbuhan yang terserang penyakit, dan bahan yang tersedia terbatas (Darmono, 2003).  
Tumbuhan yang berasal dari lapangan sudah pasti mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya atau bahkan pada bagian internal. Kontaminan yang berasal dari lingkungan tersebut bisa mengakibatkan tumbuhan terserang penyakit. Kondisi tumbuhan yang terserang penyakit atau terkontaminasi mikroorganisme baik eksternal (permukaan) maupun internal (bagian dalam jaringan), relatif sulit dikulturkan. Kesulitan perbanyakan tumbuhan yang terkontaminasi mikroorganisme dengan kultur  jaringan, yaitu bagaimana mematikan atau menghilangkan mikroorganisme dengan bahan sterilan tanpa mematikan tumbuhan (eksplan) (Santoso dan Nursandi 2002).
Menurut Gunawan (1987) bahan-bahan sterilisasi yang biasa digunakan umumnya bersifat toksik terhadap jaringan. Permasalahan lain yang sering terjadi pada kegiatan  kultur jaringan adalah peristiwa  browning (pencoklatan). Sandra (2003) mengemukakan bahwa setiap tumbuhan  akan mengeluarkan larutan fenol yang akan bereaksi dengan udara (oksigen) sehingga menghasilkan larutan berwarna coklat yang disebut  quinon. Larutan yang berwarna coklat tersebut jika terakumulasi pada media akan meracuni eksplan.
Menurut Sandra dan Medi (2002), sterilisasi merupakan permasalahan utama yang menentukan keberhasilan kultur jaringan, terutama sterilisasi eksplan yang berasal dari luar. Jika sterilisasi gagal maka kegiatan selanjutnya tidak bermanfaat. Zulkarnain (2009), mengemukakan bahwa sterilisasi pada eksplan dapat dilakukan dengan merendam eksplan dalam suatu larutan kimia tertentu dengan waktu yang berbeda-beda antar jenis eksplan dan sterilan yang digunakan.

 Daftar Pustaka
  • Darmono, D. W. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta: Penebar Swadaya
  • Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur
  • Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB –
  • Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
  • Irwanto. 2006. Usaha Pengembangan Jati (Tectona grandis L.f). http : // www.irwantoshut.com. Diakses pada tanggal 14 Februari 2010 Pukul 18.30 WIB
  • Sandra dan Medi . 2002. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Jakarta: AgroMedia
  • Pustaka. Jakarta.
  • Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Variasi Genetik Dalam Populasi

Within – Population Variation, Contohnya :
• Sexual dimorphisme; sehingga menyebabkan adanya perbedaan jenis kelamin pada suatu populasi baik populasi hewan, tumbuhan, ataupun manusia (Sidharta, 1995).
• Individu jantan dan betina pada populasi kupu-kupu ‘semanggi’ memiliki variasi warna. Kupu-kupu jantan selalu berwarna kuning, sedangkan kupu-kupu betina dapat berwarna kuning atau putih.
• Perbedaan golongan darah seseorang. Misalnya : 1000 orang mahasiswa Biologi ITS diperiksa golongan darahnya menurut sisten ABO dan didapatkan hasil golongan A 320 orang, B 150 orang, AB 40 orang, dan O 490 orang
(Suryo, 2005).
• Limpets memiliki tekstur cangkang yang berbeda – beda sesuai ukurannya dimana semakin besar ukuran Limpets senakin kasar tekstur cangkangnya.
• Adanya variasi warna pada populasi Sand dollars (coklat tua, coklat muda, putih, atau abu-abu).
• Sekelompok orang di suatu perkampungan memiliki variasi usia, mulai dari anak-anak, remaja, dan dewasa.
• Variasi mating (cara kawin) pada spesies-spesies jantan Ungulates. Misalnya : 1) Jantan pada populasi Ovis canadensis memiliki taktik/cara mating dengan merawat betinanya, memberi batas teritori, atau mengejar individu betina, 2) strategi mating pada populasi Damaliscus lunatus adalah mengikuti kemanapun perginya betina, membentuk wilayah teritori, atau memberikan tanda artifisial di wilayahnya (Isvaran, 2005).

Between – Population Variation, Contohnya :
• Adanya variasi proses penyerbukan pada populasi Plantago maritima di Amerika dengan populasi di Eropa dimana Plantago maritima di wilayah Amerika bersifat self - fertile (menyerbuk sendiri), sedangkan populasi Plantago maritima di Eropa bersifat self – sterile.
• Populasi Microctonus aethiopoides di Eropa bersifat parasit bagi Sitona lepidus, sedangkan di New Zealand M.aethiopoides tidak berpengaruh bagi eksisnya Sitona lepidus. Hal tersebut dikarenakan adanya variasi allozyme antara populasi di Eropa dan New Zealand (Iline, 2003).
• Ukuran tubuh maksimum komodo di pulau Komodo dan Rinca 15% lebih besar dibandingkan ukuran tubuh maksimum komodo di pulau Gili Montang dan Nusa Kode dimana variasi tersebut dipengaruhi oleh sumber daya alam di masing-masing pulau (Jessop, 2005).
• Pada umumnya tanaman Pterocarpus indicus di dataran tinggi (Yogyakarta) memiliki warna daun yang berbeda dengan Pterocarpus indicus di dataran rendah (Jakarta). Daun Pterocarpus indicus di dataran tinggi berwarna hijau tua dan cerah, sedangkan di dataran rendah berwarna hijau, hijau kekuningan, atau kuning. Selain karena faktor lingkungan yang berbeda, variasi warna daun di kedua populasi tersebut juga disebabkan adanya perbedaan gen pembentuk klorofil. Y3 merupakan gen dominan yang menyebabkan munculnya zat hijau daun, sedangkan gen y3 merupakan gen resesif terhadap penampakan zat hijau daun. Tanaman yang kekurangan klorofil (daunnya berwarna hijau kekuningan atau kuning) dijumpai pada tanaman yang mempunyai sifat homozigot resesif /y3y3 (Welsh, 1991).

Daftar Pustaka

  • Iline, I., dan Philips, C. 2003. Allozyme Variation Between Europen and New Zealand population of Microctonus aethiopoides. New Zealand Plant Protection. 56 : 133 – 137.
  • Isvaran, Kavita. 2005. Variation in Male Mating Behaviour Within Ungulate Populations : Patterns and Processes. Current Science. 89 (7).
  • Jessop, S., dkk. 2005. Ukuran Tubuh Maksimum Antar Populasi – Terbatas – Pulau Biawak Komodo dan Keterikatannya Dengan Kepadatan Mangsa Besar. Taman Nasional Komodo, Zoological Society of San Diego, The Nature Conservancy.
  • Suryo. 2005. Genetika Strata 1. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
  • Welsh, James., dan Mogea, Johanis. 1991. Dasar-Dasar Genetika Dan Pemuliaan Tanaman. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Saturday, November 13, 2010

Vigna angularis

 
Kacang merah berasal dari daerah neotropical dengan sedikitnya dua pusat domestikasi: Amerika Tengah (Mexico, Guatemala) untuk yang berbiji kecil dan Amerika Selatan (sebagian besar Negara Peru) untuk yang berbiji besar. Di waktu post-Columbian, kacang merah tersebar di seluruh Amerika. Orang-orang Spanyol membawa benih ke seberang Pasifik menuju Filipina dan dari sana ke Asia, terutama Jawa dan Myanmar, dan ke Mauritius (McMahon, 2007).
Kacang merah akan berbunga pada panjang hari 9-18 jam dan untuk tipe berhari pendek memerlukan panjang hari terendah antara 11-12.3 jam untuk inisiasi bunga. Temperatur optimum antara 16 hingga 27 ° C. Curah hujan normal tahunan adalah 900-1500 mm tetapi dapat toleran dengan sedikitnya 500-600 mm dalam satu musim penanaman. Kacang ini tumbuh di dataran rendah tropis dan area subtropis tetapi dapat tumbuh hingga ketinggian 2000-2500 m. Kacang merah menyukai lahan beraerasi dan berdrainase baik dengan pH 6.0-6.8. Beberapa kultivar tahan terhadap lahan asam dengan pH serendah-rendahnya 4,4 (Van Steenis, 2004).
Perbanyakan kacang merah adalah dengan biji. Di daerah tropika, kacang jawa ditanam di kebun rumah, atau tumpangsari dengan sereal (jagung, gandum), akar dan umbi akar ( ubi rambat, singkong) atau tanaman lain (mis.kapas, tebu). Penanaman tunggal lebih sering dilakukan di negara Amerika Serikat, Madagaskar dan Peru (McMahon, 2007).

Taksonomi Tumbuhan 
Menurut Tjitrosoepomo (2005) klasifikasi kacang merah adalah sebagai berikut :
Regnum            : Plantae
Divisio              : Spermatophyta
Classis              : Dicotyledoneae
Ordo                : Fabales
Familia              : Fabaceae
Genus               : Vigna
Spesies             : Vigna angularis


 Daftar Pustaka

McMahon, Margaret, et. all. 2007. Hartmann’s Plant Science-Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. Pearson Prentice Hall : New Jersey.
Tjitrosoepomo, G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Van Steenis. 2004. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta : Pradnya Paramita.

Designing The Landscape
Salah satu cara untuk memerangi pemanasan global adalah dengan menciptakan lingkungan hijau. Keterbatasan lahan bukanlah halangan untuk menciptakan lingkungan hijau tersebut. Ahli dalam bidang landscape (seni pertamanan) dan gardening (berkebun) banyak membantu terciptanya konsep taman yang indah dan asri di lingkungan rumah, hotel, real estate, villa, kantor, bahkan shopping centre ataupun area lain sehingga tercipta lingkungan hijau yang tidak hanya berpotensi mengurangi pemanasan global, tetapi juga memiliki nilai estetika yang tinggi.
Pekerjaan merancang/mendesain adalah membuat pola, skema, rencana, mengatur, menata, dan mengorganisasi. Sejarah desain dimulai sejak manusia membutuhkan sesuatu untuk keamanan, kesenangan dan kepuasan. Perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK menyebabkan produk desain menjadi lebih kompleks disesuaikan dengan fungsi dan kepentingan masing-masing. Mendesain atau merancang lanskap bukan pekerjaan sederhana dan mudah, namun memerlukan pemikiran dan perasaan yang tepat. Ada tiga area utama yang perlu didesain secara apik; yaitu public area, outdoor living area, dan service area (Anonim, 2010).
Public Area
Contoh public area misalnya adalah pusat perbelanjaan (mall), pasar, dan taman kota, atau halaman rumah. Untuk mendesain tempat-tempat tersebut perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :
1.      Semua benda yang ada harus dapat dilihat oleh masyarakat
2.      Pada halaman rumah misalnya, landscape yang indah merupakan kesan pertama terhadap rumah tersebut 
3.      Titik yang paling penting pada area ini adalah pintu masuk dimana setiap orang yang akan memasuki rumah atau tempat yang dimaksud selalu melewati pintu dan memperhatikan keadaan di depan pintu tersebut sehingga sangat penting mendesain pintu masuk seapik mungkin. Jika hendak meletakkan suatu tanaman maka peletakannya adalah di sisi pintu dimana tingginya ⅔ dari tanah ke atap. Karena itu seringkali digunakan tanaman bonsai.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa merancang atau mendesain landscape bukanlah perkara yang mudah dan untuk mendesain public area, khususnya halaman depan rumah, harus memperhatikan tiga hal, yaitu :
1.      Mengurangi garis arsitektur pada rumah dimana hal ini dimaksudkan untuk membuat rumah terasa lebih nyaman dilihat dan tidak terlalu formal. Sebagai contohnya adalah bangunan tua yang sudah tidak sesuai dengan karakter lingkungan saat ini dapat diubah dengan menambahkan ornamen-ornamen seperti bebatuan atau air sehingga penampilan, bentuk, dan fungsinya sesuai dengan lingkungan
2.      Menanam pepohonan di tepi-tepi halaman dengan arti membingkai rumah dengan pohon
3.      Memelihara halaman rumput yang terbuka dengan memangkas rumput tersebut secara teratur
Hal yang diperhatikan pada perancangan public area adalah tempat pejalan kaki (trotoar) dan driveways. Trotoar biasanya dibuat untuk menunjukkan pintu masuk oleh karena itu harus dapat digunakan oleh dua orang yang saling bersisihan. Sedangkan untuk jalanan pengemudi lebarnya diharuskan berukuran 10-18 langkah kaki dimana 10 langkah kaki merupakan lebar minimum untuk sebuah mobil.
Penggunaan pohon pada setiap desain landscape bukanlah tanpa alasan. Pohon-pohon tersebut memiliki fungsi pada setiap desain landscape yaitu untuk :
1.      Pembeda antara dinding dengan halaman sehingga terlihat kontras. Kontras merupakan salah satu dari prinsip desain dimana kontras memimbulkan daya tarik atau puncak perhatian seseorang.
2.      Besaran atau patokan langit-langit yang menjulang
3.      Sebagai penunjuk arah atau patokan suatu tempat
Selain pohon, semak-semak merupakan salah satu objek yang perlu didesain. Dari segi arsitektur, tanaman semak berfungsi untuk memperhalus garis vertikal rumah serta menutupi pondasi rumah tersebut. Kebanyakan orang yang memiliki halaman rumah luas selalu memangkas tanaman semaknya dengan bentuk yang tidak wajar seperti bentuk bulat atau binatang. Secara estetika hal tersebut memang terlihat unik, tetapi jika ditinjau dari segi fisiologi tumbuhan pemangkasan tersebut bukanlah hal yang baik. Pemangkasan tersebut dapat mengakibatkan tanaman tercekam (stress) karena reduksi jumlah dan ukuran daunnya dimana daun merupakan salah satu organ penting bagi tanaman untuk melangsungkan kehidupannya yaitu untuk melakukan fotosintesis (McMahon, 2007).

Gambar 1. Contoh Modifikasi Bentuk Tanaman Semak. Pada umumnya tanaman semak yang dipangkas dengan berbagai bentuk binatang adalah pangkas kuning. Pada gambar di atas tanaman memang terlihat lebih menarik, tetapi hal tersebut tidak baik bagi pertumbuhan tanaman itu sendiri (Raja, 2009).

The Outdoor Living Area
Living area disebut juga sebagai lingkungan pribadi (private area) dimana cara mendesainnya sangat berbeda dengan desain public area. Contoh dari area ini adalah taman pribadi atau halaman belakang rumah. Perancangan private area ini dititik beratkan pada kegiatan keluarga serta minat berkebun suatu keluarga. Misalnya jika keluarga pemilik rumah menyukai olahraga maka halaman belakang rumah cukup ditanami rerumputan serta beberapa pohon peneduh di salah satu tepinya sehingga halaman terkesan luas sedangkan jika suatu keluarga memiliki hobi berkebun maka halaman hendaknya dijadikan kebun buah, bunga, atau taman obat keluarga.
Beberapa elemen penting untuk mendesain halaman pribadi adalah
·        Pagar pembatas dimana pagar dapat dibuat dari material batuan ataupun dari tanaman merambat sehingga memiliki fungsi ganda yaitu sebagai pembatas dan menghijaukan lingkungan. Selain itu, pagar dapat pula dibuat dengan menggunakan kayu dengan atau tanpa ukiran. Adanya ukiran menampakkan kesan mewah sedangkan pagar kayu polos dengan motif alami (lingkar pohon) menunjukkan kesan minimalis pada suatu bangunan. Pada umumnya pembatas ini merupakan kontrol dari suatu desain landscape dimana dengan adanya kontrol didapatkan keseimbangan simetris (formal) dan keseimbangan asimetris (informal).
·        Tanah lapang yang dapat dimodifikasi sebagai jalan setapak
·        Berbagai jenis tumbuhan. Misalnya tanaman semak (bugenfil/Bougenvillea spectabilis), tanaman perennial (bunga sepatu/Hibiscus rosa-sinensis) serta tamanan undercover seperti rumput teki. Tanaman ini berfungsi untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi pemilik rumah.
·        Asesoris taman, seperti air mancur, kolam, patung, bebatuan, atau lampu hias taman.
·        Alas/dasar/lantai area ini dapat menggunakan beton, bebatuan atau tanaman rumput
·        Beranda atau gazebo meupakan area transisi antara interior rumah dengan halaman pribadi dimana pada umumnya lantai beranda berasal dari kayu atau beton yang di setiap sudutnya diberi tanaman hias dalam pot. Beranda ataupun gazebo seringkali dibangun dekat dengan dapur dan digunakan pada saat acara-acara tertentu seperti barbeque keluarga.

Service Area
Area ini merupakan area yang berada di belakang outdoor living area atau di samping public area. Misalnya jika di sebuah pusat perbelanjaan, service area adalah tempat parkir kendaraan.  Jika dilihat sepintas tempat parkir memang sangat jarang diperhatikan oleh para pengunjung. Namun, mendesain tempat parkir yang baik tidaklah mudah. Karena selain memperhatikan keindahan ditinjau pula segi keamanan pengemudi atau pemilik kendaraan. Oleh karena itu, diperlukan desain yang unik untuk service area supaya lebih diperhatikan oleh masyarakat.

Desain lanskap ideal yang memenuhi fungsi dan estetika dengan pedoman prinsip desain mempertimbangkan hubungan ruang, unsur pembentuk ruang serta membangun struktur landscape disesuaikan dengan karakter ruang yang ingin diwujudkan agar dapat memenuhi kepuasan manusia sebagai pengguna dan kelestarian lingkungan yang lebih berkualitas.


 Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Design of Landscape. http://bestlandscaping-and-gardening.com. Diakses pada tanggal 8 November 2010 Pukul 11.25 WIB.
McMahon, Margaret, et. all. 2007. Hartmann’s Plant Science-Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. Pearson Prentice Hall : New Jersey.
Raja. 2009. About Landscape Gardening. http://palemraja.com. Diakses pada tanggal 10 November 2010 Pukul 11.00 WIB.