Pages

Sunday, February 21, 2010

Iklim Dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pembentukan Tanah

Setiap tempat pada waktu tertentu memiliki suhu udara, tekanan udara, kelembaban, keadaan awan, dan presipitasi yang relative berbeda. Keadaan yang berubah-ubah dari unsure-unsur meteorologi dan atmosfir tersebut dikenal dengan cuaca. Pada suatu tempat yang sama keadaan cuaca dapat berubah hanya dalam tempo beberapa jam saja. Akan tetapi, ada suatu keadaan di mana suhu, presipitasi, kelembaban dan hal-hal yang terkait dengan cuaca hanya dapat berubah dalam jangka panjang. Artinya perubahan tersebut tidak serta-merta terjadi dalam waktu beberapa jam saja, tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat berubah. Keaadan itu disebut dengan iklim (Lange, 1991).
Sebagaimana fenomena di alam ini, iklim berubah secara bertahap. Factor utama yang menyebabkan perubahan iklim adalah letak geografis suatu wilayah, keadaan vegetasi, dan aktivitas manusia (Lange, 1991).
Peningkatan temperatur udara di permukaan bumi antara 2 - 5◦ Celcius dalam kurun waktu 100 tahun dengan kondisi emisi gas rumah kaca seperti saat ini akan mengakibatkan perubahan iklim sebagaimana kajian Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dalam sidang Second World Climate Programme (SWCP) Oktober 1990 di Genewa (Wibowo, 1996).

Bagaimana Iklim Mempengaruhi Pembentukan Tanah?

Menurut Hardjowigeno (2003) hanya ada lima factor utama yang mempengaruhi proses pembentukan tanah. Salah satu dari kelima factor itu adalah iklim. Iklim merupakan factor yang sangat penting dalam proses pembentukan tanah. Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap pembentukan tanah adalah suhu dan presipitasi (curah hujan).
Tanah berasal dari bahan-bahan induk , baik yang organic maupun mineral, yang terbentuk melalui berbagai macam proses. Bahan-bahan induk yang membentuk tanah adalah batuan-batuan yang ada di muka bumi yang mengalami pelapukan. Terkait dengan suhu dan pelapukan, suhu udaralah yang menyebabkan terjadinya pelapukan pada batuan sehingga terbentuk tanah. Proses pelapukan batuan oleh suhu ini dinamakan pelapukan mekanis atau fisik. Batu akan memuai jika terkena suhu tinggi dan menyusut ketika suhu rendah. Pemuaian batuan tersebut sebenarnya tidak begitu berarti, tetapi akan memberikan dampak nyata jika terjadi secara konstan dan berkali-kali (Sutedjo, 2005).
Setelah mengalami pelapukan secara fisik, batuan yang telah hancur akan mengalami pelapukan secara kimiawi. Pelapukan kimia menyebabkan mineral terlarut dan mengubah sturkturnya sehingga mudah terfragmentasi. Di sinilah presipitasi memainkan perannya. Dengan adanya air hujan, maka proses pencucian tanah berlangsung cepat sehingga pH tanah tidak terlalu basa. Karena tanah yang bersifat masam pada umumnya adalah tanah yang banyak mengandung humus (Sutedjo, 2005).
Reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada tanah meliputi:
1. Solution yaitu terlarutnya bahan padat menjadi ion yang dikellilingi oleh molekul cairan.
Contoh :
NaCl + H2O  Na+, Cl-, H2O
(Garam mudah larut) air (ion terlarut dikelilingi air)

2. Hidrolisis ; reaksi suatu substansi dengan air yang membentuk hidroksida dan substansi baru lain yang lebih mudah larut daripada substansi asalnya. Hidrolisis merupakan salah satu reaksi pelapukan yang terpenting yang menyebabkan perubahan profil tanah.
Contoh :
KAlSi3O8 + HOH  HAlSi3O8 + KOH
(ortoclase, sangat (clay silikat) (sangat mudah terlarut)
lambat keterlarutannya)

3. Karbonasi : reaksi suatu senyawa dengan asam karbonat di mana asam karbonat merupakan asam lemah yang diproduksi dari gas CO2 yang terlarut dalam air.
Contoh :
CO2 + H2O  H2CO3  H+ + HCO3-
CaCO3 + H+ + HCO3-  Ca (HCO3)2
(kalsit,sedikit larut) mudah larut

Hidrolisis dan karbonasi merupakan proses pelapukan kimia yang paling efektif dalam proses pembentukan tanah.

4. Reduksi : proses kimia dimana muatan negatif naik, sedangkan muatan positif menurun. Misalnya CaSO4 (keras) yang dilarutkan dalam air hingga membentuk CaSO4.2H2O (lebih lunak).
5. Oksidasi : kehilangan elektron atau penggabungan suatu senyawa dengan oksigen. Mineral yang teroksidasi meningkat volumenya karena penambahan oksigen dan umumnya lebih lunak.
6. Hidrasi : kombinasi kemikalia padat, seperti mineral atau garam, dengan air. Hidrasi menyebabkan perubahan struktur mineral dengan cara meningkatkan volumenya sehingga mineral menjadi lebih lunak dan mudah terdekomposisi.

Dampak Perubahan Iklim Pada Pembentukan Tanah

Iklim di wilayah satu berbeda dengan iklim di wilayah lainnya, karena itulah proses pembentukan tanah yang terjadi berbeda-beda pula. Dampak nyatanya adalah adanya perbedaan jenis tanah antar wilayah. Indonesia yang pada dasarnya beriklim tropis di mana musim panas dan musim hujan datang setiap enam bulan sekali memiliki tanah yang lebih subur daripada tanah di negara-negara Eropa ataupun negara-negara Afrika. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa waktu juga menjadi salah satu factor pembentukan tanah. Dan selama waktu berjalan manusia akan terus melakukan berbagai aktivitas di mana sebagian besar aktivitas tersebut seringkali berdampak pada alam; misalnya overexploitation sumber daya alam, membuang sampah sembarangan dan reklamasi pantai.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa iklim dapat berubah, salah satunya karena aktivitas manusia. Karena itulah semakin tidak terkontrol perlakuan manusia terhadap alam, semakin cepat terjadinya perubahan iklim. Akibat perubahan iklim, lapisan salju melebur dan tanah akan lebih banyak menyerap panas matahari. Umpan balik dari peleburan lapisan salju tersebut akan meningkatkan pemanasan global (global warming). Kenaikkan temperatur akan mempengaruhi pasokan air yang berasal dari pencairan salju. Pada musim dingin air disimpan dalam bentuk salju dan secara bertahap dilepaskan pada saat meleleh pada musim semi dan musim panas. Pada bagian bumi yang lebih panas, curah hujan meningkat pesat. Sungai-sungai di daerah ini menjadi sangat kering saat musim panas dan meluap pada waktu musim hujan (Wibowo, 1996).
Komposisi ekosistem alami dapat rusak akibat perubahan iklim ketika dampak perubahan iklim tersebut tidak dapat ditolerir oleh komponen pendukung ekosistem. Karena tanah merupakan salah satu komponen ekosistem alami (komponen abiotik) maka perubahan iklim akan merubah sifat-sifat tanah. Dengan begitu tanah di Indonesia yang pada umumnya bersifat subur bisa saja berubah menjadi tandus akibat perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini.



Daftar Pustaka

  • Hardjowigeno. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo : Jakarta

  • Lange, M. 1991. General Geology. Gaya Media Pratama : Jakarta

  • Sutedjo, Mul Mulyani. 2005. Pengantar Ilmu Tanah; Terbentuknya Tanah Dan Tanah Pertanian. Rineka Cipta : Jakarta

  • Wibowo, Titus Tri. 1996. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Alami. WACANA No. 3 / Juli-Agustus 1996.

Saturday, February 20, 2010

Aplikasi Bioteknologi Pada Pembuatan Roti


Aplikasi Bioteknologi Konvensional

            Bioteknologi merupakan bidang terapan biosains dan teknologi dimana organisme hidup atau komponen selnya diterapkan pada industri jasa, manufaktur, serta pengelolaan lingkungan. Meskipun kepopuleran bioteknologi baru saja terlihat beberapa tahun terakhir (khususnya di Indonesia), kenyataannya bioteknologi bukanlah hal yang baru. Salah satunya adalah teknik fermentasi yang sudah dilakukan oleh orang-orang Babilonia kuno sejak tahun 6000 SM untuk menghasilkan bahan makanan dan minuman.
            Salah satu produk pangan yang dihasilkan adalah roti. Mereka memanfaatkan proses fermentasi glukosa oleh ragi . Secara sederhana adonan roti terdiri dari tepung (gandum), air, garam, dan ragi di mana ragi yang paling umum digunakan berasal dari Saccharomyces cerevisiae. Proses fermentasi yang terjadi adalah diubahnya monosakarida dan disakarida menjadi Alkohol dan CO2 serta sedikit suasana asam. Gas CO2 lah yang dapat mengembangkan adonan roti, sedangkan alkohol berfungsi sebagai pemberi aroma roti. Sementara itu, asam hasil fermentasi berfungsi untuk memberikan rasa pada roti serta melunakkan gluten yang terkandung pada biji gandum atau tepung roti.


Teknik fermentasi yang dilakukan tersebut adalah teknik fermentasi yang paling sederhana dimana mikroorganisme (ragi) dicampurkan dengan bahan-bahan yang telah disiapkan dan dibiarkan bereaksi dengan sendirinya. Karena tidak memerlukan alat-alat super canggih maka proses pemanfaatan ragi pada pembuatan roti di zaman Babilonia kuno tersebut merupakan aplikasi bioteknologi konvensional.

Menurut Smith (1990), tidak dapat dipastikan apakah proses microbial tersebut diketahui secara kebetulan atau berdasarkan suatu percobaan intuitif. Akan tetapi, perkembangan lebih lanjut dari proses tersebut merupakan salah satu contoh dari kemampuan manusia menggunakan aktivitas penting dari mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aplikasi Bioteknologi Modern

            Seiring dengan berkembangnya zaman, teknik fermentasi juga ikut mengalami perubahan. Hidayat (2009) mengemukakan bahwa ada lima tahap perkembangan industri fermentasi. Tahap pertama dimulai sebelum tahun 1900, tahap kedua pada tahun 1900-1940, tahap ketiga pada tahun 1940-1960, tahap keempat pada tahun 1960, dan tahap kelima pada tahun 1979 hingga saat ini. Tahap pertama dan kedua merupakan era teknik fermentasi konvensional, sedangkan tahap ketiga hingga kelima dikatakan sebagai era fermentasi modern.
            Era bioteknologi modern juga memberikan pengaruh pada proses pembuatan bahan pangan, salah satunya adalah pembuatan roti. Namun, ada perbedaan mendasar antara pembuatan roti ‘konvensional’ dengan roti ‘modern’. Jika roti ‘konvensional’ dibuat untuk dikonsumsi secara besar-besaran, bahkan hingga saat ini, roti ‘modern’ diolah karena adanya krisis yang saat itu melanda sebagian besar negara-negara Eropa.
            Salah satu alasan dibuatnya roti ‘modern’ adalah menipisnya stok gandum yang menjadi bahan dasar roti, sementara roti merupakan makanan pokok bagi masyarakat Eropa. Pada tahun 1960 muncullah produksi protein sel tunggal (PST) yang berasal dari ganggang jenis Spirullina sp. , Chlorella sp. , serta fungi jenis Fusarium sp. Protein sel tunggal (PST) yang dihasilkan oleh ketiga jenis mikroorganisme tersebut kemudian dicampurkan ke dalam adonan roti yang bahan dasarnya bukanlah gandum utuh, melainkan tepung terigu atau pun tepung roti pada umumnya. Jadilah roti alternatif dengan bahan dasar yang lebih ekonomis daripada gandum, tetapi memiliki kandungan protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Sehingga penduduk di negara-negara miskin terhindar dari bencana kelaparan.

Kue atau roti yang mengandung protein sel tunggal mikroorganisme ini dikenal dengan nama ‘kue mikroba’. Di Jerman, ‘kue mikroba’ lebih dikenal dengan sebutan probion, sedangkan masyarakat Inggris menyebut ‘kue mikroba’ sebagai mikroprotein (Handari, 2009).

Mengapa Kue Mikroba Masuk Dalam Aplikasi Bioteknologi Modern?

            Pada dasarnya pembuatan roti ‘konvensional’ dan roti  ‘modern’ tidaklah jauh berbeda. Keduanya sama-sama menganut teknik  fermentasi. Akan tetapi, pada roti ‘modern’ digunakan berbagai macam teknologi terutama untuk mendapatkan single cell protein, dimana semua proses bioteknologinya dikerjakan di dalam bioreaktor. Bioreaktor adalah sistem tertutup untuk reaksi biologis dari suatu proses bioteknologi. Bioreaktor memberikan lingkungan yang tetap bagi optimasi pertumbuhan organisme dan aktivitas metabolisme. Selain itu, bioreaktor digunakan untuk mencegah kontaminasi produksi lingkungan (Smith, 1990).
            Pengoperasian bioreaktor dapat dilakukan secara kontinu, semi kontinu (fed-batch), atau discontinue. Untuk menghasilkan protein sel tunggal (PST) sebagai bahan baku pembuatan kue mikroba, bioreaktor dioperasikan secara semikontinu, dengan alasan :
1.      Produk kue mikroba hanya dibutuhkan pada saat krisis dan sangat jarang krisis berkepanjangan melanda negara-negara Eropa sekalipun negara tersebut adalah negara miskin
2.      Kue mikroba tidak tahan lama (masa berlakunya pendek)
3.      Budidaya Spirullina sp. atau mikroorganisme penghasil PST saat itu belum banyak dikembangkan, sementara produksi PST memerlukan kestabilan galur produksi yang diperbaharui secara teratur
4.      Secara teknis, proses kontinu masih menunjukkan banyak kesulitan
           
            Sayangnya aplikasi single cell protein belum banyak dilakukan oleh Negara-negara berkembang di Asia, khususnya Indonesia. Alasan klasiknya adalah kurangnya atensi pemerintah pada perkembangan bioteknologi. Seandainya saja ada perhatian khusus yang diberikan pemerintah pada aplikasi protein sel tunggal  (PST) ini mungkin saja tidak ada kelaparan yang melanda mayoritas penduduk Indonesia karena diselamatkan oleh kehadiran kue mikroba.

DAFTAR PUSTAKA

Handari. 2009. Bioteknologi. http://handari.ngeblogs.com. Diakses pada tanggal 13 Februari 2010 Pukul 19.30 WIB.
Hidayat, Nur.  2009 . Mikrobiologi Industri. Teknik Industri Pertanian FTP, Universitas Brawijaya : Malang.
Smith, John. E.  1990 . Prinsip Bioteknologi. PT. Gramedia : Jakarta.

Saturday, February 13, 2010

Sejarah Perkembangan Fermentasi

Tahap pertama industri fermentasi dimulai sebelum tahun 1900, yaitu mulai pembuatan alkohol dan vinegar. Di Arab produksi dalam skala besar dimulai tahun 1700. Pengembangan proses dengan menggunakan termometer dimulai tahun 1757 dan pemindahan panas pada tahun 1801. Pada pertengahan abad 19, fungsi khamir dalam fermentasi alkohol mulai dikembangkan. Pada akhir abad 19 mulai digunakan kultur murni khamir pada pembuatan starter. Vinegar pada mulanya dihasilkan dari oksidasi wine karena perkembangan mikrobia liar. Perkembangan kemudian dengan menggunakan generator yang diikuti dengan medium penyangga. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 mulai digunakan medium yang dipasteurisasi dan ditambah 10% vinegar yang baik untuk menjadikan asam dan mencegah kontaminasi. Jadi konsep proses mulai dikembangkan pada awal abad 20. 
Tahap ke dua yaitu dari tahun 1900 - 1940 dengan mulai dikembangkan produk baru seperti massa sel khamir, gliserol, asam sitrat, asam laktat dan aseton-butanol. Pembuatan ragi roti merupakan proses aerob sehingga sel tumbuh cepat. Jika oksigen tidak ada maka yang dihasilkan alkohol dan bukan sel khamir. Masalah pembatas adalah konsentrasi wort awal, karena pertumbuhan sel dibatasi oleh kemampuan penggunaan sumber karbon daripada oksigen. Pertumbuhan sel juga dipengaruhi oleh penambahan wort dalam jumlah kecil selama proses. Teknik ini sekarang disebut kultur Fedbatch dan secara luas digunakan dalam fermentasi industri dengan oksigen sebagai pembatas. Perkembangan fermentasi aseton butanol secara aseptis selama perang dunia II dipelopori oleh Weizmann.
Pada tahap ke tiga mulai dihasilkan penisilin pada kultur submerged secara aseptis. Produksi penisilin secara aerob sangat mudah mengalami kontaminasi, terutama pemasukkan udara dalam skala besar. Program pengembangan strain dilakukan dalam pilot-plant. Pada tahap ini (1940 sampai sekarang) banyak ditemukan proses-proses baru diantaranya antibiotik yang lain, vitamin, gibrelin, asam amino, enzim dan transformasi steroid.
Tahap ke empat (1960 sampai sekarang), sejumlah perusahaan besar meneliti tentang produksi protein sel tunggal untuk ternak. Tahap ini merupakan pengembangan tahap ke tiga dengan skala lebih besar, dengankemungkinan harga jual yang lebih rendah. Mulai tahap ini semakin diperhatikan kontrol peralatan dan proses menggunakan kontrol komputer
dan mulai dilakukan penelitian strain yang digunakan melalui rekayasa genetik.
Tahap ke lima (1979 sampai sekarang) mulai diteliti dan diproduksi senyawaan yang tidak umum dihasilkan mikrobia seperti interferon, insulin dengan manipulasi genetik. Produksi konvensional juga dapat ditingkatkan melalui rekayasa genetik. Perkembangan tahap ini semakin canggih sesuai perkembangan bioteknologi

Wednesday, February 10, 2010

Tectona grandis (Jati)

Hutan jati adalah sejenis hutan yang didominasi oleh pohon jati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati banyak ditemukan di pulau Jawa. Akan tetapi, saat ini hampir di semua wilayah Indonesia memiliki hutan jati. Hutan jati merupakan hutan yang tertua dan terbaik pengelolaannya di Indonesia.
Jati (Tectona grandis L.f.) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, termasuk dalam famili Verbenaceae. Penyebaran alami meliputi negara-negara India, Birma, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia.  Barikut adalah klasifikasi Jati (Tectona grandis) :
Regnum            : Plantae
Divisio              : Spermatophyta
Classis             : Dicotyledoneae
Ordo                 : Lamiales
Familia              : Verbenaceae
Genus              : Tectona
Spesies            : Tectona grandis
Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi Jati umumnya tanah bertekstur sedang dengan pH netral hingga asam. Menurut T.Altona, penanaman jati pertama kali dilakukan oleh orang hindu yang datang ke Jawa. Sehingga ada anggapan bahwa jati didatangkan oleh orang hindu atau negeri hindulah (India) “tempat kelahiran” Jati. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli botani, Charceus, yang mengatakan bahwa jati di Pulau Jawa berasal dari India yang dibawa pada tahun 1500 SM.
Kontroversi ini kemudian terjawab melalui penelitian marker genetik dengan menggunakan teknik isoenzyme yang dilakukan oleh Kertadikara pada tahun 1994. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa jati yang tumbuh di Indonesia (Jawa) merupakan jenis asli. Jati ini telah mengalami mekanisme adaptasi khusus sesuai dengan keadaan iklim dan edhapic (tanah) yang berkembang puluhan hingga ratusan ribu tahun sejak zaman quarternary dan pleistocene di Asia Tenggara.
Jati hasil kultur jaringan yang beredar saat ini dengan klon dari berbagai asal-usul di luar negeri, perlu dikaji lebih cermat karena pada umumnya klon yang berasal dari kultur jaringan bersifat site spesific, sehingga belum tentu cocok dikembangkan di setiap lokasi di Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa perbanyakan secara kultur jaringan bukanlah metode pemuliaan, melainkan hanya suatu metode perbanyakan biasa sehingga tidak dapat memperbaiki kualitas genetik bibit. Oleh karena itulah perlu dilakukan peneliatian lebih lanjut

Saturday, February 06, 2010

1st About Mikorhiza

Mikoriza merupakan jamur yang hidup bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi.Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jenis jamur tertentu dengan perakaran tanaman. Simbiosis ini terdapat hampir pada semua jenis tanaman. Kabirun (1994) mengelompokkan jamur ini dalam dua jenis, yaitu endomikoriza dan ektonmkoriza. Namun pada umumnya mikoriza lebih banyak dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dengan adanya penambahan kelompok mikoriza yang merupakan bentuk peralihan dari kedua jenis tadi, yaitu ektendomikoriza (Harley and Smith 1983).
Jamur ektomikoriza memasuki akar dan mengganggu sebagian lamela tengah di antara sel korteks. Susunan hifa di sekeliling sel korteks ini disebut jaring Hartig. Ektomikoriza biasanya juga menyusun jaringan hifa dengan sangat rapat pada permukaan akar, yang disebut selubung. Selubung ini sering disebut dengan selubung Pseudoparenkim (Kabirun 1994). Kebanyakan jamur yang membentuk mikoriza adalah Basidiomycetes (famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae, dan Sclerodermataceae). Beberapa ordo dari Ascomycetes, terutama Eurotiales, Tuberales, Pezizales, dan Helotiales, mempunyai spesies yang diduga membentuk ektomikoriza dengan pohon.
Endomikoriza masuk ke dalam sel korteks dari akar serabut (feeder roots). Jamur ini tidak membentuk selubung yang padat, namun membentuk miselium yang tersusun longgar pada permukaan akar. Jamur ini juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di dalam sel korteks, sehingga sering disebut dengan VAM (Vesicular-Arbuscular Miccorhizal), sebagai contoh jenis Globus dan Acaulospora (Thorn 1997). 
Beberapa Manfaat Mikoriza bagi tanaman adalah sebagai berikut: 
  1. Meningkatkan serapan hara
  2. Menghemat penggunaan pupuk buatan
  3. Meningkatkan pertumbuhan dan sistem perakaran tanaman
  4. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekurangan air serta serangan penyakit akar

Wednesday, February 03, 2010

ALGAE


Dalam dunia tumbuh-tumbuhan algae dikenal sebagai tumbuhan talus (Thallophyta),karena organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum terdiferensiasi dengan jelas. Kata Algaealgor” yang berarti dingin. Sedangkan dalam bahasa Yunani algae berasal dari kata “Phycos”. Ilmu yang mempelajari tentang algae disebut Fikologi atau Algologi (jamak) berasal dari bahasa latin “
Berdasarkan ukuran tubuhnya, algae di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu algae yang berukuran besar (makroalgae) dan algae berukuran kecil (mikroalgae). Makroalgae merupakan tumbuhan makrofitobentik (besar dan melekat pada substrat di lautan). Menurut Luning (1990), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makroalgae dari sekitar 8000 jenis makroalgae yang ada di seluruh dunia.G. M. Smith (1955)menyatakan makroalgae dibagi menjadi 3 divisi berdasarkan pigmen fotosintesis yang dimilikinya, yaitu: Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
  •  BAB IChlorophyta merupakan divisi terbesar dari semua divisi alga. Sekitar 6500 jenis anggota divisi ini telah berhasil diidentifikasi. Divisi Chlorophyta tersebar luas dan menempati beragam substrat seperti tanah yang lembab, batang pohon, batuan basah, danau, laut hingga daerah bersalju. 
  • BAB ISebagian besar anggota divisi Phaeophyta menempati perairan beriklim dingin di belahan bumi utara. Struktur tubuh alga coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi Phaeophyta merupakan jenis algae dengan ukuran talus terbesar di dunia.
  • Alga merah umumnya hidup di tempat yang lebih dalam jika dibandingkan dengan habitat alga lainnya. Hal ini didukung oleh pigmen fotosintesis berupa fikoeritrin yang mampu mengabsorbsi cahaya gelombang pendek (hijau). Selain fikoeritrin juga dijumpai pigmen lainnya seperti klorofil a dan d, santofil, beta karoten dan fikosianin.
BAB I