Pages

Saturday, May 29, 2010

Effective Concentration (EC)/Konsentrasi Efektif

Effective concentration (EC) merupakan kepekatan senyawa/zat  pada taraf dan waktu tertentu dimana senyawa/zat tersebut menyebabkan kelumpuhan atau perubahan fisiologis/struktur morfologi pada biota yang diujikan tersebut dan pada umumnya organisme tersebut adalah spesies ikan dan algae. IUPAC 1997 menyatakan bahwa Effective concentration merupakan rasio konstanta tingkat pertama reaksi dalam molekul yang melibatkan dua kelompok fungsional dalam entitas molekul yang sama dengan rasio konstanta tingkat kedua dari analog reaksi unsur antar molekul. Rasio ini juga memiliki dimensi konsentrasi. Perhatian tambahan perlu diberikan apabila senyawa tersebut terbioakumulasi dan dapat terdegradasi secara biologi. Sifat terakhir ini mempunyai tiga kategori;  yaitu senyawa yang secara mudah dapat terurai secara biologi, senyawa yang terdegradasi oleh mikroorganisme tanah yang tidak dapat termineralisasi (minimal 70%) dalam waktu 28 hari, dan senyawa yang dikatagorikan sebagai terdegradasi secara biologi inherent (Anonim,  2010).
Hasil pengujian efek subletal suatu bahan dinyatakan sebagai konsentrasi efektif median (EC50), konsentrasi atau dosis yang dalam waktu tertentu  di bawah kondisi tertentu, menyebabkan 50 persen respon maksimum dalam suatu parameter tertentu atau proses relatif bagi pengendalian yang tidak terekspos. Responnya adalah mungkin penurunan sebesar 50 persen dalam tingkat pertumbuhan atau perubahan sebesar 50 persen dalam proses fisiologis (misalnya, fotosintesis atau laju kecepatan pernafasan). Angka 50 tersebut bukanlah angka tetap pada suatu pengujian toksisitas secara kualitatif, melainkan hanyalah patokan umum dimana populasi biologis kehilangan 50% individu jantan (laki-laki) atau 50% individu betina (perempuan) tanpa melihat adanya peristiwa emigrasi dan imigrasi. Pada umumnya penentuan Effective Concentration (EC) dilakukan kurang lebih 24 jam untuk kriteria akut. 
Salah satu pengujian senyawa toksis dilakukan oleh Soetopo dkk dimana hasilnya tercantum dalam sebuah jurnal yang berjudul Tingkat Toksisitas Pentaklorofenol Terhadap Organisme Air Tawar. Melalui penelitiannya, Soetopo melakukan uji toksisitas kronis pentakhlorofenol terhadap Dhapnia yang dilakukan pada 3 variasi konsentrasi pentaklorofel dimana hasilnya ditentukan berdasarkan nilai EC50. Selain itu dilakukan pula uji toksisitas akut dimana uji ini dilakukan untuk menentukan nilai EC50 yang kemudian digunakan sebagai dasar rentang konsentrasi pada uji toksisitas kronis.
Perhitungan nilai EC50, pada penelitian yang dilakukan Soetopo, dilakukan dengan menggunakan analisa probit. Parameter yang digunakan adalah kesintasan harian, fekunditas harian, serta laju reproduktif bersih. Perhitungan parameter-parameter tersebut dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus yang dikemukakan oleh Soerensen (1996) dalam Soetopo (2006) seperti yang tertera pada tabel 1.2. di bawah ini. 
Tabel 1.2. Rumus Perhitungan Pengaruh Kronis Pentaklorofenol Terhadap Dhapnia
Parameter
Rumus
Keterangan
Kesintasan Harian (Ix)
Ix = A   x 100%
        B
A : Jumlah Induk yang hidup

B : jumlah Induk awal

C : Jumlah neonate yang lahir

Fekunditas Harian (mx)
mx = C
         A
Laju Reproduktif Bersih (Ro)
         n
Ro = ∑ Ix . mx
        X=1
Secara keseluruhan dari hasil percobaan uji toksisitas kronis ini, menunjukkan bahwa pentaklorofenol sangat berpengaruh terhadap kesintasan harian, fekunditas harian, dan laju reproduktif bersih Dhapnia.
Akan tetapi, persamaan pada tabel 1.2. tersebut bukanlah persamaan baku untuk menentukan EC50. Prakash et all (2007) menyatakan bahwa EC50 diperoleh berdasarkan data IC50 melalui persamaan berikut:
EC50

Metode pengujian toksisitas dan ekotoksisitas menjadi semakin distandarisasikan di seluruh dunia. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi  (The Organization for Economic Cooperation and Development /OECD) telah menghasilkan panduan pengujian agar supaya mencegah meluasnya pengujian untuk memenuhi persyaratan data yang berbeda oleh satu pemerintah terhadap bahan yang sama. Organisasi Standarisasi Internasional  (The International Organization for Standardization / ISO) juga aktif dalam pengawasan ini. Pengujian juga perlu dilaksanakan sesuai dengan praktek laboratorium yang baik sebagaimana ditentukan oleh OECD. 



Daftar Pustaka

  • Anonim. 2000. BAPEDAL Environmental Management Services Project. BRNP, EMS, BAPEDAL : Jakarta
  • Prakash, D., Upadhyay, G.,Singh, B.N., Dhakarey, R., Kumar, S., Singh, K.K., 2007. Free Radical Scavenging Activities og Himalayan Rododendrons. Current Science, 92 (4) : 526-532.
  • Soemirat, Juli. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
  • Soetopo, Rina. 2006. Tingkat Toksisitas Pentakhlorofenol Terhadap Oraganisme Air Tawar. BS, 42 (2) : 75-82.

Analisis Isu Lingkungan


Untuk menghindari terjadinya akurasi semu yang seringkali tersirat ketika hanya ada satu pernyataan atau kesimpulan tunggal yang disajikan, maka pengkajian harus menyajikan serangkaian hubungan mengenai isu tertentu, masing-masing ditentukan menurut kondisi yang berbeda; mengindikasikan kepekaan untuk berubah (misalnya melalui peningkatan pengetahuan, atau mengubah prioritas); dan harus mengakui adanya ketidakpastian dengan lebih gamblang. 
Penilaian bahaya secara toksikologi dan ekotoksikologi biasanya sangat terkait dengan jenis senyawa kimia. Penilaian bahaya secara ekotoksikologi yang ada pada kita dihubungkan dengan guideline klasifikasi negara-negara Uni Eropa. Penilaian yang sangat mirip dilakukan oleh Jerman ”Umweltbundesamt” ketika mereka mengkatagorikan senyawa-senyawa dan tatacara pembuatannya ke dalam kelas pencemar air di bawah regulasi admistratif untuk senyawa-senyawa pencemar air. Penilaian tersebut selalu didasarkan pada LC50 atau EC50 untuk spesies yang paling sensitif  (Anonim, 2010).

Mengkaji Toksisitas
Setiap bahan secara potensial bersifat racun dimana bahan tersebut dapat menyebabkan cedera atau kematian bila eksposurnya cukup tinggi. Bahkan air dan oksigen, yang penting bagi kehidupan manusia,  dapat bersifat racun dalam dosis yang cukup tinggi. Ada jutaan bahan yang terjadi secara alami atau sintetis. Kebanyakan bahan yang sistem biologisnya terekspos dalam lingkungan terjadi secara alami. Dalam menyelidiki efek bahan pada sistem biologis, metode dan pendekatan tertentu sama-sama dapat diterapkan, terlepas apakah tujuannya untuk melindungi kesehatan manusia atau lingkungan alam. 
Pengujian laboratorium untuk menyelidiki toksisitas dapat berlangsung secara in vitro atau in vivo. Pengujian in vitro  dilaksanakan pada sel atau mikroorganisme, berkisar dari bakteri, sel-sel mamalia hingga jaringan mamalia, dan telah digunakan untuk menyelidiki mekanisme efek beracun yang dikeluarkan oleh suatu bahan.
Pengujian  in vivo  dilakukan untuk mengamati efek suatu bahan pada seluruh kumpulan sel yang berinteraksi, jaringan, dan organ yang menciptakan sebuah organisme hidup; dalam hal efek bahan tidak diketahui, bentuk pengujian ini dapat menunjukkan apakah pada kenyataannya ada efek terhadap banyak sasaran potensial, yang merupakan akibat dari banyak interaksi potensial. Efek yang diamati  bisa bersifat perilaku atau fungsional atau terjadi dalam organ, jaringan atau cairan tubuh. Dengan tidak adanya data mengenai efeknya pada manusia, maka pengujian dengan mamalia akan memberikan data yang dapat membuat prediksi mengenai toksisitas bahan yang sama pada manusia. 
Percobaan toksikokinetik dilaksanakan untuk menyelidiki perilaku bahan di dalam organisme. Biasanya mereka menyelidiki absorpsi (penyerapan bahan beracun yang potensial oleh organisme), metabolisme (transformasi bahan di dalam organisme), distribusi (gerakan bahan dan metabolit di dalam organisme) dan penghilangan bahan dan metabolit dari organisme. Pengkajian toksisitas harus memperhitungkan efek metabolit serta efek bahan asal (Anonim, 2000).
 
Daftar Pustaka



  • Anonim. 2000. BAPEDAL Environmental Management Services Project. BRNP, EMS, BAPEDAL : Jakarta



Biomonitoring_Toksikologi Lingkungan

Lingkungan, dalam segenap bagiannya, merupakan dasar sumberdaya alam bagi kehidupan. Sementara manusia merupakan bagian dari lingkungan, kelangsungan hidup manusia dan pemenuhan sasaran sosial serta ekonomis kita sebagai manusia bergantung pada bagaimana kita memanfaatkan sumber daya alam sembari melestarikan lingkungan yang sehat.
Manusia sebagai makhluk hidup tertinggi di dunia sangat tergantung pada sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Telah menjadi sifat manusia untuk selalu berusaha meningkatkan taraf hidupnya sehingga manusia melakukan berbagai inovasi peralatan yang dapat mempermudah dan meningkatkan kehidupannya. Salah satunya adalah munculnya berbagai industri yang diawali dengan revolusi industri di Inggris pada akhir abad ke XVIII. Hal tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja, suplai energi, dan bahan baku. Masalahnya adalah bahan baku yang dibutuhkan sebagian besar harus diimpor dari negara lain ataupun dibuat secara sintesis. Bahan-bahan sintesis tersebut didominasi oleh senyawa yang sifatnya toksik atau tergolong racun bagi organisme dan lingkungan. Pada akhirnya, buangan yang bertambah banyak dan seringkali tidak bersifat alamiah, membuat lingkungan tidak dapat membersihkan dirinya atau proses pembersihan dirinya telah terlampaui sehingga dibutuhkan bantuan manusia supaya buangan tidak mengotori dan merusak lingkungan serta sumber daya yang dibutuhkan manusia tetap terjaga kualitasnya (Soemirat, 2003).
Dapat dipahami bahwa di masa yang akan datang buangan yang memasuki lingkungan dapat menimbulkan suatu kerusakan pada lingkungan. Undang-undang No.23 tahun 1997 (pasal 1) menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan adalah suatu tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tak langsung pada ciri-ciri fisik dan/atau biologis lingkungan yang menyebabkan lingkungan tidak dapat lagi berfungsi lebih lama untuk menunjang pengembangan yang lestari. Kerusakan lingkungan didasarkan pada penerapan dari, dan pengkajian terhadap kriteria kerusakan. Kriteria kerusakan lingkungan standar adalah ambang batas perubahan fisik dan/atau biologis pada lingkungan yang dapat diukur. Akan tetapi,   Laporan Tinjauan Lingkungan Global tahun 1997 dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Environment Programme 1997 Global Environment Outlook Report) mencatat kemajuan yang signifikan dalam dasawarsa terakhir ini dalam menghadapi tantangan lingkungan global di wilayah negara berkembang dan industri (Anonim, 2000).
Uraian tersebut memberikan suatu pengertian akan dibutuhkannya ilmu toksikologi terutama toksikologi lingkungan sehingga dapat dilakukan uji toksisitas di laboratorium dimana nantinya hasil uji tersebut dapat dijadikan prediksi toksisitas suatu limbah, bahan baku baru, serta efeknya terhadap masyarakat (Soemirat, 2003).

Daftar Pustaka
  • Soemirat, Juli. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Fragmentasi Hutan, Penyebaran Biji, Dan Frugifore

Penyebaran biji merupakan salah satu tujuan manusia ketika melakukan habitasi (fragmentasi habitat). Akan tetapi, fragmentasi sendiri terkadang memberikan dampak negatif terhadap struktur komunitas di suatu ekosistem. Pembukaan lahan dan habitasi oleh manusia memberikan tekanan secara signifikan terhadap spesies lokal. Spesies yang diintroduksikan manusia di suatu habitat mampu menyingkirkan spesies asli dari persaingan memperebutkan sumber daya seperti nutrisi, cahaya, ruang, air, dan sebagainya. Jika spesies tersebut berevolusi di bawah kompetisi dengan tingkat predasi yang tinggi, maka lingkungan baru mungkin membuat spesies tersebut berkembang dengan sangat cepat. Habitat yang terganggu tersebut dapat menjadi suatu ekosistem yang baru yang memberikan pengaruh secara luas terhadap ekosistem lokal. Hal ini dapat menyebabkan spesies invasive dapat tumbuh pada habitat yang baru tersebut dan menyingkirkan spesies asli.
Sistem agroforestri dan sistem pertanian yang beragam yakni yang mempertahankan sebanyak mungkin vegetasi alami dilaporkan cukup efektif dalam upaya konservasi keragaman hayati dan merupakan sistem manajemen terbaik untuk menghindari adanya spesies invasive.

Frugivore merupakan spesies atau organisme pemakan buah, misalnya serangga, burung, dan mamalia. Frugivore sendiri dapat menjadi agen penyebar biji (seed dispersal) bagi suatu jenis tanaman untuk meningkatkan kualitas genetiknya di tempat yang lebih baik. Proses penyebaran biji ini dapat menurun ketika suatu ekosistem mengalami habitasi (yang dilakukan oleh manusia) misalnya fragmentasi hutan.  
Kruess & Tschrntke (1994) dalam Yaherwati (2006) menyakatan bahwa fragmentasi habitat alami merupakan salah satu faktor penyebab berkurangnya keanekaragaman spesies serangga. Apabila keanekaragaman tersebut terus menurun dampak yang paling parah diterima oleh tumbuhan yang polinasi dan penyebaran bijinya bergantung pada serangga tersebut. Sehingga tumbuhan tidak dapat lagi melakukan penyebaran biji ke daerah yang lebih luas
Fragmentasi dan konversi habitat secara khusus juga telah menghancurkan spesies primata. The Primate Specialist Group dari IUCN baru-baru ini telah menetapkan dua spesies, yaitu Orangutan Sumatera  (Pongo pygmaeus) dan Owa Jawa (Hylobates moloch), sebagai spesies yang menduduki peringkat tertinggi pada daftar 2 primata yang terancam punah.  Owa Jawa yang berjumlah antara 300-400 ekor sekarang terpencar di hutan-hutan yang masih tersisa di Jawa.  Di Sumatera, orangutan hanya terdapat di propinsi-propinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
  
Daftar Pustaka 

  • Yaherwandi. 2006. Spatial Analysis of Agricultural Landscape and Hymenoptera Biodiversity at Cianjur Watershed. Hayati 13 (4) : 137-144

Polinator Dan Karakteristik Tumbuhannya

Polinator pada umumnya mengunjungi tanaman berbunga dengan tujuan untuk mencari makan. Dalam hal ini bunga yang sedang mekar (anthesis) dan mengandung zat gula (nektar) yang merupakan sumber makanan bagi polinator. Arsitektur bunga yang meliputi ukuran, kedudukan organ reproduksi, aksesibilitas nektar, struktur bunga dan masa pembungaan semua mempengaruhi interaksi antara tanaman dengan polinatornya (Ghazoul, 1997).
Bunga yang bersifat zoidiofilli (zoidiogamy) biasanya memiliki ciri-ciri:
1. Memiliki warna yang menarik/mencolok
2. Menghasilkan sesuatu (zat) yang menarik atau menjadi makan binatang
3. Serbuk sari seringkali mengumpul dan berperekat sehingga mudah menempel pada tubuh binatang yang mengunjungi bunga tersebut
4. Terkadang memiliki bentuk yang khusus sehingga bunga hanya dikunjungi oleh jenis hewan tertentu saja. Misalnya pada tumbuhna Vanilla planifolia (panili) yang hanya bisa menghasilkan buah melalui penyerbukan dengan perantara serangga yang hidup di daerah itu.
5. Memiliki waktu mekar bunga yang berbeda dari bunga jenis lain. Misalnya pada tumbuhan dari familia Anacardiaceae dan Verbenaceae yang bunganya mekar pada malam hari sehingga penyerbukannya dilakukan oleh jenis hewan nocturnal (aktif di malam hari) seperti kelelawar. Jenis penyerbukan yang diperantarai kelelawar ini dinamakan Chyropterogamy.
Sebagian besar agen penyerbuk menunjukkan variasi yang spesifik dalam hal ukuran tubuh, kemampuan sensorik, perilaku pencarian makan dan sumber energi yang dibutuhkan,sehingga ada hubungan tertentu yang secara general dapat ditarik antara arsitektur pembungaan dengan tipe polinatornya (Faegri dan Van der Pijl, 1979).
Menurut Griffin dan Sedgley (1989) polinator disebut sebagai polinator efektif apabila dapat mengadakan kunjungan yang tetap pada bunga saat tepung sari masak dan putik reseptif, melakukan aktivitas pada kisaran kondisi cuaca/iklim yang sama dengan musim bunga, mengunjungi banyak bunga pada banyak pohon dalam satu populasi, membawa muatan tepung sari yang mencukupi, membuat kontak yang kontinu dengan kepala putik dengan cara yang dapat mengakibatkan terjadinya penyerbukan, dan terdapat dalam jumlah yang mencukupi.

Daftar Pustaka


  • Faegri, K. & van der Pijl, L. 1979. The Principles of Pollination Ecology. Third edition,
Pergamon Press, Oxford.
  • Ghazoul, J. 1997. Field Studies of Forest  Tree  Reproductive  Ecology.  ASEAN-           Canada Forest Tree Seed Center Project. Muak lek, Saraburi.
  • Griffin, A.R. & Sedgley, M. 1989. Sexual  Reproduction  of  Tree  Crops.  Academic            Press Inc. Harcourt Brace Jovanovich Publishers : San Diego.

Interaksi Hewan-Tumbuhan

Suatu ekosistem selalu menunjukkan interaksi antara komunitasnya. Interaksi yang terjadi selalu memberikan pengaruh satu sama lain. Pada konteks interaksi antara hewan dengan tumbuhan berbagai pengaruh, baik positif maupun negatif, ditimbulkan oleh keduanya (hewan dan tumbuhan). Interaksi yang dapat terjadi antara hewan dengan tumbuhan meliputi herbivori, insektifori, polinatori, serta koevolusi.

Herbivori
Herbivori merupakan pola interaksi antara hewan pemakan vegetasi dengan tumbuhan dimana interaksi yang paling sering terjadi adalah grazing dan browsing. Grazing adalah interaksi yang melibatkan hewan pemakan rumput-rumputan seperti sapi, kuda, dan kambing. Sedangkan browsing merupakan interaksi yang melibatkan hewan pemakan pucuk atau bagian tanaman lainnya. Browsing kerap kali terjadi misalnya antara jerapa atau gajah dengan tanaman Accacia auricuriformis atau biji tanaman yang dikonsumsi oleh burung. Pengaruh yang disebabkan oleh interaksi tersebut meliputi :
A. Bagi Tumbuhan
  • Kotoran hewan dapat membantu menyuburkan tanah sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terhambat 
  • Perumputan oleh herbivora mempengaruhi ketinggian dan kerapatan vegetasi serta kelembaban relatif mikrohabitat. Pada areayang dikelola dengan baik masih banyak tersedia ruang untuk herbivora sehingga tidak terjadi konsentrasi mamalia,tetapi pada lahan pertanian dimana lanskap mengalami fragmentasi ke dalam beberapa padang rumput, akan terjadi pengelompokan mamalia herbivora yang tidak hanya meningkatkan konsentrasi kotoran tetapi juga meningkatkan peluang rusaknya kotoran dan vegetasi yangada
  • Adanya hewan pemakan biji menjadi salah satu cara tumbuhan untuk menyebarkan bijinya sehingga tumbuhan tersebut dapat memperbanyak keturunannya di wilayah lain. Namun, Biji suatu jenis tanaman yang terbawa oleh hewan bisa saja terjatuh atau ditempatkan pada lahan/wilayah yang tidak kondusif seperti laut atau rawa-rawa sehingga penyebaran biji tidak berhasil dan eksistensi tanaman tersebut berkurang.
  • Hewan pemakan pucuk kerap kali merobohkan tumbuhan, terutama tumbuhan dengan habitus pohon. Perobohan tersebut dapat mengurangi dominansinya terhadap tumbuhan kecil/semak. Semakin banyak perobohan tumbuhan berhabitus pohon oleh hewan maka semakin besar kemungkinan tumbuhan tersebut menjadi langka hingga akhirnya mengalami kepunahan

B. Bagi Hewan
  • Karena tumbuhan merupakan produsen primer maka interaksi ini jelas sangat menguntungkan hewan terutama dalam hal pemenuhan nutrisi/sumber makanan
  • Bagi sebagian besar hewan, tumbuhan menjadi habitat (rumah) serta tempat berlindung dari predator

Insektifori
Interaksi berikutnya adalah insektifori yaitu interaksi yang melibatkan jenis tumbuhan pemakan hewan yang dalam hal ini adalah serangga. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada wilayah yang kekurangan unsur N (nitrogen) sehingga untuk mendapatkan asupan unsur tersebut jenis tumbuhan tertentu mengambil unsur N dari serangga. Contohnya adalah Kantung semar dan sebagian besar jenis dari famili Nepenthaceae, serta tumbuhan Venus dimana daunnya terdiferensiasi menjadi semacam alat gerak untuk menangkap serangga. Interaksi ini dapat menyebabkan kelangkaan beberapa jenis serangga, termasuk serangga-serangga yang berperan dalam peristiwa polinasi, sehingga akan berdampak buruk bagi spesies tanaman lain yang penyerbukannya bergantung pada serangga tersebut.

Polinatori
Polinatori merupakan interaksi antara tumbuhan dengan hewan yang sebenarnya bersifat kebetulan karena sebenarnya ”kunjungan” suatu hewan pada tumbuhan, khususnya bunga, bertujuan untuk mencari makan. Karena itulah dalam proses penyerbukan harus terjalin hubungan timbal balik antara tanaman berbunga dengan polinatornya. Interaksi ini akan terbentuk jika tanaman berbunga dapat menyediakan apa yang dibutuhkan oleh polinator untuk kelangsungan hidupnya. Ketika polinator memperoleh banyak manfaat dari kontaknya dengan bunga, yang dapat berupa makanan, tempat berlindung dan membangun sarang atau tempat melakukan perkawinan maka kontak tersebut dapat menjadi bagian yang tetap dalam hidupnya sehingga akan terbentuk interaksi yang konstan dengan tanaman tersebut. (Griffin dan Sedgley, 1989). Oleh karena itu tanaman berbunga harus mampu menarik polinatornya sehingga mendapatkan kunjungan polinator secara kontinu. Dengan demikian terdapat jaminan terjadinya transfer tepung sari yang  mendukung pembuahan (Pacini, 2000).

Koevolusi
Koevolusi merupakan interaksi yang melibatkan adaptasi evolusioner yang bersifat resiprok pada dua spesies. Akan tetapi, dasar genetik pada sebagian besar kasus masih belum dapat ditentukan dan seringkali sangat sulit untuk menentukan bahwa suatu perubahan evolusioner dalam satu spesies merupakan suatu kekuatan selektif yang menginduksi perubahan evolusioner pada spesies yang lain. Interaksi ini misalnya terjadi pada Passionflower vine dengan larva kupu-kupu dari genus Heliconius. Passionflower vine menghasilkan zat kimia beracun yang membantu melindungi daunnya dari serangga herbivora. Suatu kontraadaptasi berkembang pada Heliconius dimana ia mampu mencerna daun Passionflower vine yang beracun tersebut dengan suatu enzim pencernaan khusus. Resistensi larva Heliconius ini merupakan suatu kekuatan selektif yang mengarah pada terjadinya evolusi pertahanan yang dilakukan oleh tumbuhan tersebut. Caranya adalah beberapa daun Passionflower vine kerap terlihat memiliki bintik-bintik kuning dimana bintik-bintik kuning ini merupakan ”senjata” untuk melawan larva Heliconius. Larva Heliconius mengira bintik-bintik kuning tersebut adalah telur dari individu Heliconius yang lain sehingga Heliconius pertama tidak akan meletakkan telurnya pada daun tersebut untuk menghindari adanya kompetisi sehingga kerusakan daun Passionflower vine dapat berkurang (Campbell, 2004).


Daftar Pustaka


  • Campbell. 2004. Biologi Jilid 3, Edisi ke 5. Erlangga : Jakarta.
  • Faegri, K. & van der Pijl, L. 1979. The Principles of Pollination Ecology. Third edition,Pergamon Press, Oxford.
  • Ghazoul, J. 1997. Field Studies of Forest  Tree  Reproductive  Ecology.  ASEAN-           Canada Forest Tree Seed Center Project. Muak lek, Saraburi.
  • Griffin, A.R. & Sedgley, M. 1989. Sexual  Reproduction  of  Tree  Crops.  Academic            Press Inc. Harcourt Brace Jovanovich Publishers : San Diego.
  • Pacini, E. 2000. From Anther and Pollen Ripening to Pollen PresentationPlant             Systematics and Evolution 222: 19-43.

Monday, May 10, 2010

Fase Generatif dan Vegetatif


Fase vegetatif  adalah interval waktu selama tanaman tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada spesies dan kondisi lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Lamanya periode juvenil lebih dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986 dalam Griffin dan Sedgley, 1989) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949 dalam Griffin dan Sedgley, 1989), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat dihubungkan dengan fase juvenil ini; seperti pembentukan duri pada jeruk, pesatnya pertumbuhan meninggi pada larch dan jeruk, susunan daun pada pistachio, bulu-bulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks, 1986; Greenwood, 1987 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Fase juvenil diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal. Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman. Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses pertumbuhan.
Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta, mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga.
Fase reproduktif adalah masa ketika tanaman telah mampu membentuk organ-organ reproduksi dan melangsungkan proses reproduksi untuk membentuk biji. Fase ini terjadi setelah pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga), yang ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai membentuk meristem lateral. Tanaman memasuki fase reproduktif setelah tercapainya suatu karakter genetik yang disebut size effect dan endogenous timing. Size effect adalah ukuran tertentu yang berhubungan dengan kemampuan tanaman mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan. Endogenous timing adalah umur tertentu yang secara genetis berhubungan dengan kesiapannya untuk berbunga.

Saturday, May 08, 2010

Tekanan Darah

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Arteri adalah pembuluh darah yang membawa darah dari jantung yang memompa ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat darah dialirkan itu disebut tekanan darah. Dengan adanya tekanan ini, aliran darah akan lancar. Tekanan darah dibagi menjadi dua, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah tekanan dalam arteri yang terjadi saat dipompanya darah dari jantung ke seluruh tubuh. Adapun diastolik yaitu sisa tekanan dalam arteri saat jantung beristirahat. Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah dari pada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh posisi tubuh, suhu dan aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat (Pearce, 2002).
Tekanan darah biasanya diukur dengan alat portable kecil yang disebut manset tekanan darah (sphygmomanometer), (Sphygmo dalam bahasa Yunani untuk pulse, dan manometer mengukur tekanan). Manset tekanan darah yang terdiri dari sebuah pompa angin, sebuah alat pengukur tekanan, dan manset karet. Instrumen yang mengukur tekanan darah di unit bernama millimeters of mercury (mm Hg) (Guyton, 1997).
Karena itulah dilakukan praktikum ini dimana tujuannya adalah untuk mempelajari cara penggunaan Sphygmomanometer sebagai alat pengukur desakan darah arteriol serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi desakan darah khususnya pada manusia.

 Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi dalam praktikum ini adalah bagaimana mempelajari cara penggunaan Sphygmomanometer sebagai alat pengukur desakan darah arterial dan bagaimana mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi desakan darah.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara penggunaan Sphygmomanometer sebagai alat pengukur desakan darah arteriol dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi desakan darah.

METODOLOGI

Alat dan Bahan
  • Alat
Peralatan yang dibutuhkan dalam praktikum ini antara lain yaitu Sphygmo-manometer, stetoskop, dan timbangan badan.

  • Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah air es dengan suhu ± 5˚C.

Cara Kerja
  • Posisi Tubuh Terlentang
Lengan kiri seorang probandus yang tidur terlentang di bebat tangannya, kemudian diisikan udara ke dalam pembebat itu sehingga air raksa menunjukkan pada angka ±170 mm Hg, sebelum dilakukan pengisian udara sebaiknya dicari lebih dulu posisi darah arteri (arteria branchialis) yang berdekatan dengan bagian lengan yang dibebat lalu diletakkan stetoskopnya. Sebelum dipompakan melalui stetoskop terdengar denyut nadi, dengan penuhnya udara maka bunyi itu semakin melemah dan menghilang. Pada waktu bunyi mulai melemah, dicatat berapa tinggi permukaan air raksa dan pengisian udara dilanjutkan. Kemudian udara dikeluarkan kembali, sambil didengarkan melalui stetoskop dan pada waktu denyut nadi terdengar pertama kali, dicatat tinggi air raksanya. Pengosongan dilanjutkan terus, sehingga bunyi melemah dan permukaan air raksa dicatat tingginya dan pada saat bunyi menghilang sama sekali, diulangi hingga tiga kali per satu probandus dan dicatat rata-ratanya.

  • Posisi Tubuh Berdiri Tegak
Probandus dalam keadaan berdiri, diukur tekanan darah seperti yang dilakukan pada pengukuran di posisi terlentang.

  • Pengaruh Latihan
Probandus melakukan latihan atau olah raga berupa lari-lari kecil selama 5 menit kemudian diukur tekanan darah dalam keadaan terlentang, pengukuran dilakukan seperti percobaan sebelumnya.

  •  Pengaruh Suhu Dingin
Tangan probandus dicelupkan ke dalam wadah berisi air dingin selama 2 menit, kemudian tekanan darah diukur dalam keadaan terlentang.





HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Pengamatan
  • Denyut Nadi

Keterangan
Mahmud
(per 1 menit)
Meirina
(per 1 menit)
Atik
(per 1 menit)
Terlentang
85
67
72
Berdiri tegak
102
69
83
Latihan
136
88
96
Suhu Dingin
90
63
74

  • Tekanan / Desakan Darah

Keterangan
Mahmud (mmHg)
Meirina
(mmHg)
Atik
(mmHg)
Terlentang
120/80
120/70
115/60
Berdiri tegak
110/80
120/80
120/55
Latihan
120/65
120/80
120/65
Suhu Dingin
120/85
120/50
120/70
Data sekunder
(Berat Badan)
51 kg
41 kg
49 kg

Pembahasan

Praktikum kali ini adalah mengenai desakan darah manusia. Praktikum desakan darah bertujuan untuk mempelajari cara penggunaan Sphygmomanometer sebagai alat pengukur desakan darah arterial dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi desa-kan darah. Sebelum semua perlakuan dimulai dipilih tiga orang probandus yaitu satu laki-laki dan dua perempuan dimana masing-masing probandus memiliki berat badan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk membuktikan apakah berat badan mempengaruhi tekanan darah seseorang. Selain itu, dapat diperkirakan banyaknya lemak pada tubuh dimana lemak dapat menyebabkan tekanan darah lebih tinggi karena adanya penyempitan pembuluh darah. Sementara itu dipilihnya probandus laki-laki dan perempuan dikarenakan jenis kelamin turut mempengaruhi tekanan darah seseorang (Guyton, 1997).
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Pada praktikum ini dilakukan pengukuran tekanan sistole dan diastole menggunakan Sphygmomanometer. Tekanan sistol merupakan tekanan darah memuncak pada saat jantung memompa (kontraksi) sedangkan tekanan diastole merupakan tekanan darah pada saat jantung tidak memompa (relaksasi). Pengukuran tekanan darah pada praktikum ini sendiri dilakukan dengan menggunakan metode auskultasi.
Metode auskultasi merupakan metode yang menggunakan suatu manset yang dapat dipompa dihubungkan pada manometer air raksa (sphygmomanomater) kemudian dililitkan di sekitar lengan dan stetoskop diletakkan di atas arteri brakialis pada siku, manset secara cepat dipompa sampai tekanan di dalamnya di atas tekanan sistolik yang diharapkan dalam arteri brakialis. Arteri diokulasi oleh manset, dan tidak ada suara terdengar oleh stetoskop. Kemudian tekanan dalam manset diturunkan secara perlahan-lahan. Pada titik tekanan sistolik tepat melampaui tekanan manset, semburan darah melewatinya pada tiap denyut jantung, dan secara bersama terdengar dengan tiap denyut, bunyi detakan didengar di bawah manset. Tekanan manset pada waktu bunyi pertama terdengar adalah tekanan sistolik. Dengan menurunnya tekanan, suara menjadi lebih keras kemudian tidak jelas dan menutupi, akhirnya pada kebanyakan individu menghilang. Bunyi tersebut adalah bunyi Korotroff (Ganong, 1998).
Bunyi Korotroff dihasilkan oleh arus turbulen dalam arteri brakialis. Semburan darah akan menimbulkan aliran turbulen di dalam pembuluh yang terletak di luar area manset, dan keadaan ini akan menimbulkan getaran yang terdengar melalui stetoskop yang dikenal dengan bunyi Korotroff. Arus laminar dalam arteri yang tidak berkonstriksi adalah tidak bersuara, tetapi apabila arteri menyempit, kecepatan aliran melalui konstriksi melampaui kecepatan kritis dan terjadilah arus turbulen (Ganong, 1998).
Sphygmomanometer merupakan suatu lembaran pengikat yang dapat digelembungkan yang terhubung dengan pengukur tekanan. Fungsinya adalah untuk mengukur tekanan darah dalam arteri. Lembaran pengikat itu dililitkan di sekitar lengan kiri atas. Digunakan lengan kiri karena letak arterinya dekat dengan jantung sehingga perhitungannya dapat mendekati kondisi jantung. Selain itu, pada lengan kiri terdapat arteri branchialis yang merupakan arteri terdekat dengan kulit sehingga dapat dirasakan denyutnya dengan stetoskop.
Selain itu, dilakukan pula penghitungan denyut nadi pada ketiga probandus selama satu menit dengan perlakuan awal yang sama seperti penghitungan tekanan darah dengan sphygmomanometer yaitu pada posisi terlentang, posisi berdiri tegak, setelah beraktivitas (latihan), serta pengaruh suhu dingin. Pembuluh nadi ini merupakan pembuluh arteri. Denyut nadi yang dihitung adalah nadi di pergelangan tangan yang merupakan pembuluh arteri radial.
Perhitungan denyut nadi ini dilakukan secara manual (langsung) dimana tujuannya adalah untuk membandingkan denyut nadi probandus dengan tekanan darah yang diukur dengan metode auskultasi. Denyut nadi ini seirama dengan detak jantung dimana detak jantung tersebut dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah seseorang. Karena itulah jumlah denyut nadi seseorang sama dengan detak jantungnya dimana pengukuran secara langsungnya dapat dilakukan pada pembuluh-pembuluh arteri yang paling dekat dengan organ tubuh dan disebut sebagai denyut nadi apical (Anonim, 2010).


Tabel 4.1. Denyut Nadi Manusia Pada Berbagai Tingkatan Usia

Kelompok Umur
Normal denyut nadi saat istirahat
Bayi umur 1 th
10-100 denyut per menit
Anak-anak (1-10 th)
60-140 denyut per menit
Anak-anak (11-17 th)
60-140 denyut per menit
Dewasa (> 18  th)
60-160 denyut per menit
(Anonim, 2010)
Posisi Tubuh Terlentang
Praktikum ini dilakukan dengan beberapa langkah. Langkah awal yaitu membebat lengan kiri seorang probandus yang tidur terlentang. Telah dikatakan sebelumnya nahwa penggunaan lengan kiri dikarenakan lengan kiri lebih dekat dengan jantung sehingga bunyi denyut jantungnya lebih terasa.
Setelah tangan kiri probandus dibebat, kemudian udara diisikan ke dalam pembebat tersebut sehingga air raksa menunjukkan angka 170 mmHg. Angka 170 mmHg dipilih karena dianggap melebihi tekanan sistol yang diharapkan dalam arteri brakialis dari seorang probandus. Tekanan sistol 170 mmHg merupakan tekanan darah tinggi (Hypertensi).
Sebelum dilakukan pengisian udara sebaiknya dicari lebih dahulu posisi darah arteri (arteri branchialis) yang berdekatan dengan bagian lengan yang dibebat. Dan disitulah kemudian diletakkan stetoskop. Sebelum udara dipompakan, melalui stetoskop terdengan denyut nadi. Namun dengan penuhnya udara maka bunyi itu semakin melemah dan menghilang. Pada waktu bunyi itu melemah, tinggi permukaan air raksa dicatat dan pengisian udara dilanjutkan. Kemudian udara dikeluarkan kembali sambil didengarkan melalui stetoskop dan pada waktu denyut nadi terdengar pertama kali, tinggi permukaan air raksa dicatat. Angka yang diperoleh merupakan besarnya tekanan darah sistol, yaitu tekanan darah memuncak pada saat jantung memompa (kontraksi).
Pengosongan udara dilanjutkan terus sehingga bunyi melemah dan kemudian menghilang. Pada saat bunyi menghilang, tinggi permukaan air raksa dicatat kembali. Angka yang diperoleh merupakan besarnya tekanan darah diastol, yaitu tekanan darah pada saat jantung tidak memompa (relaksasi).
Probandus dalam posisi tidur terlentang ini adalah kontrol perlakuan dimana berat badan merupakan factor yang mempengaruhi tekanan darah selain suhu, posisi tubuh, aktifitas, usia, dan sebagainya. Biasanya dalam posisi ini jantung memompa darah secara normal karena tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh tubuh. Hal ini dibuktikan melalui hasil percobaan dimana setiap probandus dinyatakan memiliki tekanan darah normal. Tekanan darah Mahmud adalah 120/80, Meirina 120/70, dan Atik 115/65. hasil tekanan darah probandus Atik memang sedikit menyimpang dari literature, tetapi hasil tersebut masih dianggap normal karena penyimpangan angkanya tidak terlalu besar.
Untuk pengukuran denyut nadi, pada posisi terlentang ini semua probandus memperlihatkan kenormalan denyt nadi karena telah dituliskan sebelumnya bahwa denyut nadi permenit orang dewasa adalah 60-160 (tabel 4.1). denyut nadi Mahmud adalah 85, Meirina 67, dan Atik 72. Denyut nadi probandus Mahmud menunjukkan nilai tertinggi dimana hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan denyut nadi seseorang yaitu jenis kelamin. Jenis kelamin laki-laki pada umunya memiliki memiliki denyut nadi yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal tersebut berkaitan pula dengan aktifitas laki-laki yang biasanya lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga tekanan darah dan denyut nadinya lebih tinggi pula daripada wanita.

1.2.2 Posisi Tubuh Berdiri Tegak
Metode pengukuran tekanan darah dengan posisi berdiri tegak sama dengan posisi terlentang, namun pada waktu pengukurannya probandus dalam keadaan berdiri. Posisi berdiri tegak ini menyebabkan tekanan darah berubah akibat adanya gaya gravitasi dimana darah yang mengalir ke atas lebih sulit karena adanya tekanan ke bawah. Jantung akan memompa darah lebih keras sehingga aliran darah berjalan lebih cepat.
Campbell (2004) mengatakan bahwa otot yang berkontraksi (ketika berdiri tegak) akan memeras vena dimana kelepak-kelepak jaringan bertindak sebagai katub satu arah yang menjaga agar darah mengalir hanya menuju jantung. Hasil praktikum menunjukkan bahwa semua probandus memiliki tekanan darah normal. Selain hasil pengukuran melalui Sphygmomanometer, perhitungan manual denyut nadi probandus juga dinyatakan normal dimana jumlahnya tidak kurang dari 60 dan tidak lebih dari 160 (mahmud 102 per menit, Meirina 69 permenit, dan Atik 83 permenit).

Pengaruh Latihan
Metode pengukuran tekanan darah dengan melakukan latihan berat (lari-lari kecil/naik turun tangga selama ± 10 menit) hampir sama dengan percobaan sebelumnya, namun pengukurannya dilakukan setelah probandus melakukan latihan berat (lari).
Percobaan pengaruh latihan ini merupakan salah satu factor yang mempengaruhi besarnya tekanan darah sebab ketika manusia beraktivitas maka otot-otot akan saling berkontraksi. Dalam proses kontraksi, otot memerlukan suplai oksigen yang banyak uantuk memenuhi kebutuhan akan energi. Darah sebagai media yang bertujuan untuk menyuplai oksigen harus segera memenuhinya. Oleh karena itu, curah jantung akan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan darah tersebut dan selanjutnya akan meningkatkan aliran darah (Anonim, 2009).
Perangsangan implus simpatis menyebabkan vasokonstriktor pembuluh darah pada tubuh kecuali pada otot yang aktif, terjadi vasodilatasi. Hal inilah yang menyebabkan tekanan darah akan meningkat setelah melakukan aktivitas fisik. Selain itu, sewaktu otot-otot itu berkontraksi, otot-otot tersebut menekan pembuluh darah di seluruh tubuh. Akibatnya terjadi pemindahan darah dari pembuluh perifer ke jantung dan paru. Dengan demikian akan meningkatkan curah jantung yang selanjutnya mening-katkan tekanan darah (Anonim, 2009).
Latihan fisik dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis, yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan arterial, sehingga juga meningkatkan denyut nadi dan tekanan darah (pengeluaran dan pengembalian darah ke jantung) (Anonim, 2009).
Peningkatan denyut nadi pada saat beraktivitas dibuktikan dengan hasil pengamatan dimana denyut nadi ketiga probandus meningkat dibandingkan perlakuan sebelumnya. Denyut nadi probandus Mahmud adalah 136 permenit, Meirina 88 permenit, dan Atik 96 permenit.

Pengaruh Suhu Dingin
Metode pengukuran tekanan darah dengan pengaruh suhu dingin hampir sama dengan percobaan sebelumnya, namun pengukurannya dilakukan setelah tangan probandus dimasukkan ke dalam air es selama ± 2 menit.
Percobaan pengukuran tekanan darah dengan pengaruh dingin ini juga untuk membuktikan bahwa suhu atau temperatur berpengaruh terhadap besarnya tekanan darah. Peningkatan temperatur akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung, kadang-kadang dua kali dari frekuensi denyut normal. Penurunan temperatur sangat menurunkan frekuensi denyut jantung, sehingga turun sampai beberapa denyut per menit seperti pada seseorang yang mendekati kematian akibat hipotermia dalam kisaran 60˚-70˚F (15.5˚-21.2˚C). Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas meningkatkan permeabilitas membran otot terhadap ion yang menghasilkan peningkatan proses perangsangan sendiri. Peningkatan frekuensi denyut jantung berakibat pada tekanan curah jantung, sehingga akan berpengaruh pada tekanan arteri (Guyton, 1997).
Hasil percobaan yang diperoleh dari praktikum ini terdapat perbedaan, yaitu tekanan darah dengan pengaruh dingin lebih tinggi atau sama dengan posisi terlentang yaitu probandus Mahmud (120/85 mmHg) dan Atik (120/70 mmHg). Namun pada probandus Meirina (120/50 mmHg) tekanan darah dengan pengaruh dingin lebih rendah dibandingkan dengan posisi terlentang.
Menurut teori, pengaruh dingin akan membuat tekanan darah menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah dengan posisi terlentang. Namun pada percobaan ini terdapat hasil yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu Sphygmomanometer mengalami kerusakan atau juga disebabkan oleh kurang telitinya praktikan dalam melakukan pengukuran besarnya tekanan darah sistol dan diastol. Selain itu, dapat pula disebabkan karena dingin yang diperoleh dari air es belum merata ke seluruh tubuh sehingga ketika diukur tekanan darahnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik yang seseorang lakukan. Tekanan darah akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas, dan lebih rendah ketika beristirahat (Pearce, 2002).
Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda-beda. Tekanan darah berada paling tinggi pada pagi hari dan paling rendah pada saat tidur di malam hari. Bila tekanan darah diketahui lebih tinggi dari biasanya secara berkelanjutan, orang itu dikatakan mengalami masalah darah tinggi. Penderita darah tinggi mesti sekurang-kurangnya mempunyai tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat (Pearce, 2002)

KESIMPULAN


Kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum desakan darah adalah bahwa desakan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah seseorang diketahui dengan melakukan pengukuran tekanan sistol dan diastole menggunakan Sphygmomanometer (metode Auskultasi). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tekanan darah dengan posisi tubuh berdiri relatif lebih rendah dibandingkan dengan posisi tubuh terlentang. Tekanan darah dengan pengaruh latihan berat lebih tinggi dibandingkan dengan posisi tubuh terlentang dan berdiri. Tekanan darah dengan pengaruh suhu dingin relatif lebih rendah dibandingkan dengan posisi tubuh terlentang (pada probandus Meirina), sedangkan pada probandus Mahmud dan Atik tekanan darah dengan pengaruh suhu dingin relatif lebih tinggi dibandingkan dengan posisi tubuh terlentang.


DAFTAR PUSTAKA

  • Anonim. 2010. Normal Pulse Rate Untuk Manusia. http: //scumdoctor.com. Diakses pada tanggal 21 April 2010 Pukul 15.45 WIB.
  • Anonim. 2009. Pengukuran Tekanan Darah. http://choybuccuq.blogspot. com/ 2009/02/pengukuran-tekanan-darah.html.www.google.com. Diakses pada tanggal 18 April 2010 pukul 19.30 WIB
  • Anonim. 2008. Laporan Fisiologi Tekanan Darah. http://odhemila.blogspot. com/2008/12/laporan fisiologi tekanan darah-arteri. com. Diakses pada tanggal 18 April 2010 pukul 19.50 WIB
  • Anonim.2008.Tekanan Darah. http://lindseylaff.blogspot. com Diakses pada tanggal 18 April 2010 pukul 20.45 WIB
  • Campbell. 2004. Biologi Jilid 3. Erlangga : Jakarta.
  • Ganong, William F. 1998. Fisiologi Kedokteran. EGC Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
  • Guyton, C.A.. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
  • Irawan, Panji. 2008. Fisiologi Jantung. http://odhemila.blogspot.com/2008/12/fisiologi jantung.pdf. www. google.com. Diakses pada tanggal 8 Maret 2009
  • Pearce, G. 2002. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Parameter. PT. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta
  • Perkins, S. 1998. Examination of The Blood and Bone Marrow. Lee GR Ed. Wintrobe’s Clinical Hematologi tenth edition; 10-18.
  • Subagiyo, Edi. 2007. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Terpapar Tekanan Panas Pada Pekerja Bagian Moulding Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah Semarang Tahun 2007. UNNES: Semarang