Pages

Friday, October 29, 2010

Ancaman Pencemaran Terhadap Eksistensi Ekosistem Terumbu Karang (Coral Reef)


Terumbu karang ditemukan mulai dari perairan es di Artik dan Antartika, hingga perairan tropis yang jernih. Namun, terumbu karang dengan dinding megahnya dan rangka batu kapur yang sangat besar hanya ditemukan di sebagian kecil perairan sekitar khatulistiwa. Dalam jalur tropis ini, faktor biologi, kimiawi dan iklim mencapai keseimbangan yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup karang pembentuk terumbu. Karang pembentuk terumbu tumbuh dengan subur dalam keseimbangan ini, menciptakan suatu ekosistem yang paling produktif dan beragam di dunia. Asia Tenggara merupakan jantung keanekaragaman yang luar biasa ini, dengan memiliki lebih dari 77% dari sekitar 800 jenis karang pembentuk terumbu yang telah dideskripsikan oleh para peneliti. Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah perairan laut mencapai dua pertiga dari luas wilayah daratan dan memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika perairan Indonesia dinilai sebagai salah satu perairan yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Burke, 2002).
Manusia telah hidup berdampingan dengan ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara selama ribuan tahun. Dengan lebih dari 350 juta orang yang tinggal dalam wilayah 0 - 50 km dari pantai, terumbu karang menjadi penting tidak hanya dalam budaya masyarakat lokal, tetapi juga penting sekali untuk kesehatan ekonomi negara-negara tersebut. Perikanan karang khususnya, merupakan sumber yang vital untuk makanan dan pekerjaan. Perikanan yang ditujukan untuk perdagangan ikan konsumsi hidup, perdagangan ikan hias, dan nafkah hidup masyarakat lokal menghasilkan milyaran dolar AS setiap tahunnya. Total keuntungan bersih perikanan karang per tahun di seluruh Asia Tenggara diperkirakan 2,4 milyar dolar AS per tahun (Burke, 2002).
Sebagai tambahan di bidang perikanan, terumbu karang memberikan banyak nilai jasa lainnya yang luar biasa. Keindahannya menarik jutaan wisatawan dari seluruh dunia setiap tahunnya. Karang sendiri mempunyai nilai yang belum dapat diungkapkan sebagai bahan biokimia untuk farmasi dan produk-produk lainnya. Terumbu karang juga mendukung  pertumbuhan mangrove dan lamun, menyediakan habitat  tempat berlindung yang sangat penting untuk keragaman jenis biota laut dan mencegah terjadinya erosi pantai.  Burke (2002) mengemukakan bahwa meskipun nilainya sangat tinggi, terumbu karang di Asia Tenggara dan di seluruh permukaan bumi menghadapi ancaman dari aktivitas manusia dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meledaknya populasi penduduk 50 tahun terakhir ini mendorong munculnya tekanan-tekanan dan peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi akan sumberdaya yang berasal dari  darat maupun laut. Tekanan-tekanan ini mengancam terumbu karang dan akan berdampak nyata terhadap perekonomian bila terumbu karang tersebut hilang.  
Eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan terumbu karang. Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di indonesia. Ikawati (2001) menyebutkan bahwa kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh manusia (antropogenik) merupakan masalah utama pada saat ini. Kegiatan manusia yang berakibat merusak ekosistem terumbu karang dapat dikelompokkan menjadi beberapa kegiatan dimana salah satunya adalah pencemaran (Sudiono, 2008).
Pencemaran
Indonesia telah berkembang ke arah tercapainya tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, sehingga sektor industri dapat menjadi lebih efektif sebagai sarana utama untuk mendorong pembangunan ekonomi, meningkatkan kemampuan teknologi dan mengoptimumkan pemanfaatan sumberdaya ekonomi. Di samping itu, hal tersebut juga ditujukan pada peningkatan persaingan industri dan kemampuan untuk menghasilkan produk yang bermutu  tinggi, yang mampu menembus pasar internasional, menggalakkan pertumbuhan industri kecil dan menengah, termasuk industri pedesaan; dan memperluas pembagian industri daerah, terutama di Indonesia Timur, sehingga pusat pertumbuhan ekonomi dapat dikembangkan di seluruh daerah sesuai potensinya (Anonim, 2000). 
 Pembangunan pertambangan ditujukan ke arah peningkatan produksi dan diversifikasi produk pertambangan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan sumberdaya energi primer, peningkatan ekspor, dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat lainnya. Produksi tahunan minyak bumi (minyak mentah dan kondensat) adalah sekitar 600 juta barel, dengan ekspor sekitar 300 juta. Ekspor minyak murni adalah sekitar 80 juta barel per tahun. Produksi tahunan gas alam adalah sekitar 3.000 milyar kaki kubik dengan konsumsi lokal sebesar sekitar 2.800 milyar kaki kubik. Produksi Gas Alam Cair  (LNG)  adalah sekitar 1,4 milyar MMBTL, sebagian besar diekspor. Produksi  LPG adalah sekitar 2,9 juta ton dan sekitar 2,6 juta diekspor (Anonim, 2000).
Sayangnya kemajuan industri dan teknologi tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga mampu menimbulkan efek negatif khususnya pada lingkungan. Efek negatif yang kerap kali menurunkan kuantitas dan kualitas lingkungan adalah pencemaran dimana hal tersebut berpengaruh pula pada eksistensi ekosistem terumbu karang.  Pencemaran laut karena minyak bumi tumpah ke laut dapat terjadi karena pemindahan minyak bumi dari kapal ke kapal, dari kapal ke pelabuhan atau sebaliknya, dari penyulingan minyak, dan dari pencucian kapal tanker (Ikawati, 2001).
Minyak yang tertumpah di laut akan mengalami absorbsi, pertukaran ion, penguapan dan pengendapan. Selain itu, tumpahan minyak akan tersebar di permukaan air laut. Ikawati (2001) mengemukakan bahwa sebagian tumpahan minyak di permukaan akan terseret ke pantai saat ada arus angin sedangkan yang melekat pada sedimen akan tenggelam ke dasar laut dan mengenai karang. Tumpahan tersebut dapat merusak atau menyebabkan kematian karang. Sebenarnya tumpahan minyak ini tidak dapat melekat begitu saja pada karang, tetapi tergantung efektifitas reaksi pembersihan karang (jenis karang) dan jenis pencemar.
Sebagai contoh, pada sebuah percobaan di laboratorium, Thompson dan Bright (1977) membandingkan kemampuan tiga spesies karang (Diploria strigosa, Montastrea annularis, M.cavernosa) dengan memindahkan empat tipe sedimen dari permukaan mereka. Empat tipe sedimen yang digunakan pada perlakuan tersebut adalah lumpur pengeboran, barite, bentonite, dan CaCO3. Percobaan dilakukan dengan menambahkan 25 ml adukan sedimen pada permukaan karang. Meskipun hasil mengindikasikan adanya tingkatan variasi pada pembersihan karang, tetapi semua karang yang diujikan dapat membersihkan barite, bentonite dan CaCO3 secara efektif dan tidak satupun spesies dapat membersihkan lumpur pengeboran secara keseluruhan (Nganro, 2009).
Bahan pencemar lain yang dikenal berpengaruh terhadap kehidupan terumbu karang adalah tailing. Limbah tailing berasal dari batu-batuan dalam tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental. Proses itu dikenal dengan sebutan proses penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, perak, tembaga dan lainnya, diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang disebut processing plant. Di tempat itu proses penggerusan dilakukan. Setelah bebatuan hancur menyerupai bubur biasanya dimasukkan bahan kimia tertentu seperti sianida atau merkuri, agar mineral yang dicari mudah terpisah. Mineral yang berhasil diperoleh biasanya berkisar antara 2% sampai 5% dari total batuan yang dihancurkan. Sisanya sekitar 95% sampai 98% menjadi tailing, dan dibuang ke tempat pembuangan (Sembiring, 2010).
Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sembiring (2010) mengemukakan bahwa tailing menyebar ke daerah yang lebih dangkal dan produktif secara biologis sehingga mendatangkan lebih banyak masalah dari yang diperkirakan yaitu mengusir spesies ikan yang berpindah-pindah, menyebabkan kerusakan permanen di dasar laut, memusnahkan spesies asli, menghilangkan organisme langka dan mengurangi keanekaragaman organisme termasuk terumbu karang.
Limbah merupakan polutan utama yang berasal dari anak sungai. Limbah pencemar tersebut dapat mengandung pestisida, herbisida, klhorin, logam berat dan limbah organik lainnya. Materi-materi tersebut dapat menyebabkan tingginya nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan meracuni ekosistem pesisir termasuk terumbu karang (Nganro, 2009). Melalui penelitiannya, Yudha (2007) mengemukakan bahwa kandungan fosfat, sulfida, dan logam berat seperti Pb, Hg, Cu dan Cd di perairan laut Bandar Lampung, yang dekat dengan pabrik-pabrik dan industri rumah tangga, terdapat dalam jumlah yang melebihi baku mutu yang ditetapkan untuk kehidupan biota laut. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa kegiatan manusia merupakan penyebab terbesar kerusakan terumbu karang. 
Dampak Pencemaran Terhadap Ekosistem Terumbu Karang

Wilkinson  (1993)  menduga  bahwa   sekitar  10 %  dari  terumbu  karang  dunia  telah hancur  dan  saat  ini  kondisi  terumbu karang dunia dapat diklasifikasikan  dalam  3 (tiga) katagori :
  1. Kritis (critical). Sekitar 30 % dari terumbu karang berada pada tingkat kritis dan akan  hilang  dalam  waktu  10 -20  tahun  kemudian jika tekanan antropogenik tidak berkurang atau dihilangkan
  2. Terancam  (threatened).    Sekitar  30%  te rumbu  karang  dikategorikan terancam dan akan tampak pada 20-40 tahun,  jika populasi dan tekanan yang ditimbulkannya terus bertambah
  3. Stabil (stable). Hanya sekitar 30 % dari terumbu karang dunia berada dalam kondisi  stabil dan diharapkan akan  bertahan dalam waktu yang  sangat  lama. 

Menurut Nybakken (1988), untuk dapat memulihkan habitat terumbu karang dibutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu antara 50 hingga 100 tahun, tergantung dari kualitas perairan, tingkat tekanan terhadap lingkungan, letak terumbu karang yang akan menjadi sumber penghasil individu karang baru, dan lain-lain. Kerusakan habitat terumbu karang dapat menyebabkan inhibisi pertumbuhan jaringan dan rangka batu kapur karang, metabolisme tubuh menurun, respon perilaku termodifikasi, produksi mukus berlebih, kemampuan reproduksi melemah, serta hilangnya Zooxanthellae (Nganro, 2009).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberadaan herbivora dan vertebrata laut mempengaruhi kesehatan terumbu karang. Vertebrata laut sangat penting dalam hal pendegradasian biomassa suatu spesies (Aronson, 2007). Akan tetapi, meningkatnya polutan organik merupakan tanda bahwa lokasi tersebut kaya akan unsur hara (nutrien) dan kelimpahan nutrien yang tidak terkendali akan menyebabkan peristiwa eutrofikasi yaitu ledakan populasi dari suatu jenis fitoplankton sehingga vertebrata pendegradasi tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya karena kelimpahan fitoplankton yang begitu tinggi (Ikawati, 2001). Hal ini juga menyebabkan adanya kompetisi antara karang dengan fitoplankton tersebut untuk mendapatkan cahaya matahari sebagai bahan fotosintesis. Seperti kita ketahui bahwa karang hidup bersimbiosis dengan zooxanthellae yang merupakan spesies algae uniseluler. Selama  fotosisntesis berlangsung, zooxanthellae memfiksasi sejumlah besar karbon  yang  dilewatkan  pada  polip  inangnya. Karbon ini sebagian besar berbentuk gliserol termasuk glukosa dan alanin. Produk kimia ini digunakan oleh  polip karang untuk menjalankan  fungsi metaboliknya atau sebagai pembangun blok-blok dalam  rangkaian  protein, lemak dan karbohidrat. Apabila terjadi ledakan satu jenis fitoplankton maka kesempatan zooxanthellae untuk berfotosintesis semakin kecil sehingga tidak ada materi organik (nutrisi) yang dapat digunakan spesies karang untuk menjalankan hidupnya yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kesehatan terumbu karang hingga kematian karang (Pastorok, 1985).
Sebagai suatu ekosistem, terumbu karang memiliki komponen-komponen sebagaimana ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen-komponen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut sangat erat sehingga  perubahan  salah satu komponen dapat  berakibat  pada berubahnya kondisi ekosistem. Berkaca pada pencemaran yang telah dijelaskan sebelumnya maka kematian terumbu karang dapat diasumsikan hilangnya salah satu komponen biotik di suatu ekosistem. Berkurang  atau  punahnya  salah  satu spesies tersebut dapat  berakibat  terjadinya  alur  tropik dalam  jaring  makanan  yang  tidak  konsisten  sehingga  memicu  terjadinya  kelabilan ekosistem.  Adanya  rantai  makanan  yang  terputus  (missing  link)  dapat  memicu munculnya  spesies-spesies asing (exotic  species) atau bioinvasi (Sunarto, 2006).
Peristawa algae bloom’s (eutrofikasi) juga dapat menyebabkan kematian pada spesies ikan. Pada 1979-1982 di Skotlandia, kematian ikan salmon meningkat karena adanya ledakan spesies Olisthodiscus sp. dan Chattonella sp. Selain itu, tahun 1978 di Inggris terjadi peningkatan kematian biota laut akibat melimpahnya Gyrodinium aureolum (Sindermann, 2006). Jenis  ikan karang yang ada di Indonesia diperkirakan  sebanyak 592  spesies. Sejumlah  736 spesies  ikan  karang  dari  254  genera  di  temukan  di perairan  Pulau  Komoodo. Sementara itu di Kepulauan Raja Ampat terdapat kenaekaragaman  spesies ikan  karang  tertinggi  di  dunia, sedikitnya terdapat 970 spesies (Sunarto, 2006). Akan tetapi, jumlah spesies ikan karang mulai menurun seiring dengan menurunnya angka produktivitas ekosistem terumbu karang. Suatu penelitian mengenai eutrofikasi di pantai terluar Long Island pada tahun 1986 menyebutkan bahwa setiap liter air mengandung 1.000.000.000 sel alga jenis Aurecoccus anophogefferens selama musim panas sehingga terjadi penurunan penetrasi cahaya ke dasar laut (Sindermann, 2006).
Secara kumulatif, ancaman-ancaman dari eskploitasi berlebihan, perubahan tata guna lahan, pencemaran, dan pembangunan pesisir, bersama dengan efek perubahan iklim global, memberi gambaran ketidakpastian masa depan ekosistem terumbu karang. Walaupun sudah diketahui secara luas bahwa terumbu karang sudah sangat terancam, informasi yang berkenaan dengan ancaman-ancaman tertentu di area yang spesifik sangatlah terbatas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas serta dana yang memadai untuk melakukan pengelolaan efektif pada ekosistem terumbu karang. Karena banyak tekanan pada terumbu karang yang berakar dari masalah sosial dan ekonomi, pengelolaan juga harus melihat aspek lain selain aspek biologi dimana upaya yang perlu ditekankan adalah pengentasan kemiskinan, mata pencaharian alternatif, perbaikan pemerintahan, dan peningkatan kepedulian masyarakat akan nilai terumbu karang serta ancaman yang dihadapinya. 

Daftar Pustaka

Aronson, Richard. 2007. Geological Approaches to Coral Reef Ecology. Springer Science + Business Media, LLC : New York.
Anonim. 2000. BAPEDAL Environmental Management Services Project. BRNP, EMS, BAPEDAL : Jakarta
Burke, Lauretta., Selig, E., dan Spalding, M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam di Asia Tenggara. World Resources Institute. ISBN 1-56973-510-7 INDONESIAN
Ikawati, Yuni., dkk. 2001. Terumbu Karang Di indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi : Jakarta.
Nganro, Noorsalam. 2009. Metoda Ekotoksikologi Perairan Laut Terumbu Karang. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati, Institut teknologi Bandung : Bandung.
Nybakken, James. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia : Jakarka 
Pastorok, R., and Bilyard, R. 1985. Effects of Sewage Pollution on Coral-reef Communities. Marine Ecology. 21 : 175-189
Sembiring, Amstrong. 2010. Bahayanya Limbah Tailing Yang Dilahirkan Dari Perusahaan Tambang. http ://Kompasiana.com. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2010 Pukul 18.00 WIB
Sindermann, Carl. 2006. Coastal Pollution: Effects on Living Resources and Humans. Taylor & Francis Group : USA
Sudiono, Gatot. 2008. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Randayan Dan Sekitarnya. Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponeoro : Semarang
Sunarto. 2006. Keanekaragaman Hayati Dan Degradasi Ekosistem Terumbu Karang. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran : Bandung.
Wilkinson, C.R., Chou, L.M., Gomez, E., Ridzwan, A.R., Soekarno, S., Sudara, S. (1993). Status of coral reefs in southeast Asia: Threats and responses. In: Global aspects of coral reefs: Health, hazards and history. Univ. Miami, Rosenthal School of Marine and Atmospheric Science. pp. J33-39.
Yudha, Indra. 2007. Pencemaran Perairan Dan Kerusakan Terumbu Karang Di Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung : Bandar Lampung.