Pages

Wednesday, March 16, 2011

Manfaat Dan Aplikasi Studi Interaksi Hewan-Tumbuhan


Secara umum, pola interaksi organisme di sebuah komunitas dapat bersifat mutualisme, parasitisme, neutralisme, komensalisme, amensalisme, dan kompetisi. Pada suatu komunitas, interaksi merupakan peristiwa kompleks dan rumit yang tidak dapat dipelajari secara terpisah sehingga terkadang sifatnya tidak bersifat absolut secara jangka panjang  dan berbeda antara spesies yang satu dan yang lain. Secara sederhana interaksi antara hewan dengan tumbuhan bersifat mutualisme bagi keduanya dimana tumbuhan mutlak digunakan oleh hewan sebagai sumber energi (makanan) atau sebagai tempat berlindung, sedangkan manfaat yang diperoleh tumbuhan adalah mampu menyebarkan bijinya serta mempercepat peristiwa penyerbukannya atas bantuan hewan. Di sisi lain, mutualisme tersebut memberikan manfaat tersendiri bagi manusia.
Manfaat paling nyata yang dihasilkan oleh interaksi hewan dan tumbuhan bagi manusia terlihat pada sektor pertanian, perkebunan, atau agroforesty. Dengan adanya hewan, penyerbukan tanaman dapat berlangsung secara cepat khususnya pada tanaman berumah dua. Interaksi antara polinator dan spesies tumbuhan tersebut salah satunya diaplikasikan pada pengelolaan urban agriculture atau kultivasi tanaman di lahan peripheral atau pinggiran kota. Pembentukan urban agriculture ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pangan dengan memaksimalkan area yang minimum dimana pembentukan kawasannya dapat dikatakan sebagai fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat pada sistem urban agriculture tersebut tentunya ditata sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan spesies invasive yang pada akhirnya akan merusak ekosistem, sebaliknya pembentukan habitat baru pada sistem urban agriculture tersebut bertujuan untuk mendatangkan spesies hewan yang bersifat pollinator. Welzel (2010) mengemukakan bahwa pengelolaan ekosistem dengan membentuk urban agriculture merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ‘hidup’ manusia. Hal ini dikarenakan pollinator (hewan), yang dalam hal ini adalah lebah, lebih mudah menemukan tumbuhan yang menjadi sumber nutrisinya. Pada penelitiannya, Welzel (2010) juga menjelaskan bahwa sunflower (Helianthus annus) yang ditanam semakin meningkatkan ‘kunjungan’ lebah madu dimana lebah madu tersebut akan mendorong serangga pollinator lain untuk mengunjungi area tersebut sehingga penyerbukan tanaman tomat, strawberry, dan juga lemon di sana (Berkeley, California, USA) berlangsung lebih cepat.
Interaksi antara hewan dan tumbuhan dapat pula diaplikasikan pada sektor perkebunan dimana salah satunya adalah penghentian pemakaian pestisida atau pembasmi hama lainnya. Contohnya adalah penggunaan semut rangrang sebagai ‘insektisida’ alami pada pohon jeruk. Tanaman jeruk kerap kali terserang oleh kutu daun dan kutu putih di bagian pucuk daun. Hal tersebut mengakibatkan pucuk daun mengerut dan menghambat pembentukan bunga yang pada akhirnya tidak dapat menghasilkan buah. Para petani jeruk pada umumnya menggunakan insektisida untuk mengurangi infeksi hama pada pohon jeruknya, tetapi penggunakan insektisida tersebut pada akhirnya memunculkan masalah lain khususnya pencemaran lingkungan. Solusi yang dapat digunakan adalah dengan mengaplikasikan interaksi antara spesies hewan dengan tumbuhan, yaitu semut rangrang dan pohon jeruk. Penggunaan semut rangrang sebagai insektisida relatif mudah. Sarang semut cukup diletakkan di ujung pohon dan diberi makanan berupa bekicot pada saat peletakan awal. Setelah itu semut akan berkembang biak dengan sendirinya tanpa harus diberi pakan. Satu pohon jeruk hanya membutuhkan satu sarang semut untuk menghindari infeksi kutu daun. Singkat kata semut rangrang merupakan pengusir hama ‘kutu daun’ bagi tanaman jeruk, sedangkan pohon jeruk merupakan tempat tinggal bagi semut rangrang.
Penggunaan semut rangrang ini juga mampu meningkatkan produksi buah pada pohon jeruk dengan bulir yang lebih berair. Dengan demikian semut rangrang dapat memberikan keuntungan secara ekonomis pada perkebunan jeruk melalui penghematan biaya insektisida serta peningkatan mutu hasil. Selain itu diperoleh pula keuntungan ekologis terutama meminimalkan resiko pencemaran. Di samping itu, penggunaan semut rangrang juga menguntungkan secara sosial dimana dengan adanya semut rangrang pada pohon jeruk, tingkat pencurian buah jeruk dapat berkurang karena semut rangrang yang bersarang di pohon jeruk kerap kali ‘menggigit’ (Rahayu dan Soeharto, 2008).
Secara tidak langsung interaksi hewan dan tumbuhan dapat pula bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan lainnya, tidak hanya pada bidang ekologi tetapi juga pada bidang botany dan zoology bahkan pengetahuan mengenai evolusi. Misalnya interaksi yang terjadi antara Passionflower vine dengan serangga Heliconius. Passionflower vine menghasilkan zat kimia beracun yang membantu melindungi daunnya dari serangga herbivora, tetapi serangga Heliconius memiliki enzim pencernaan khusus yang mampu mencerna senyawa tersebut (Campbell, 2003). Dengan adanya kontraadaptasi antara Passionflower vine dengan Heliconius maka secara tidak langsung mendorong para ahli botani maupun zoology untuk mengidentifikasi metabolit yang dihasilkan kedua organisme tersebut. Selain itu, interaksi antara Passionflower vine dengan Heliconius dapat dijadikan contoh sederhana bagaimana peristiwa koevolusi terjadi.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa interaksi hewan dan tumbuhan merupakan peristiwa yang sangat kompleks dan rumit karena konteksnya berada pada level komunitas. Sehingga untuk mengetahui manfaat dan aplikasinya bagi manusia dan organisme yang terkait di dalamnya masih perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam.
Daftar Pustaka

Campbell, Neill. 2003. Biologi Jilid 3 Edisi Ke-5. Erlangga: Jakarta.
Rahayu dan Soeharto. 2008. Semut Rangrang Si Penjaga Kebun Jeruk. Majalah Salam.
Welzel, Kevin. 2010. Urban Agriculture and Ecosystem Services: Pollination by Native Bee Communities in Berkeley, California. Spring 2010 : 1-14.

Sunday, March 13, 2011

Peran Mikorhiza Pada Tanah Salin


Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah salinitas tanah. Tanah bersalinitas tinggi biasanya banyak ditemukan di daerah mangrove dan hutan pantai. Pengaruh salinitas paling umum adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peningkatan konsentrasi garam dalam tanah menyebabkan terjadinya perubahan morfologi dan fisiologi tanaman dengan metabolisme yang abnormal akibat kandungan garam di jaringan tanaman, selain itu terjadi penurunan potensial osmotik tanah sehingga menyulitkan penyerapan air dan hara bagi tanaman, merusak kloroplas dan mengganggu proses fotosintesis yang akhirnya menekan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah di daerah perakaran tanaman menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi dan berkurangnya ketersediaan unsur kalium bagi tanaman. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh salinitas terhadap pembentukan fungi mikoriza perlu diketahui bagaimana pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman inang. Beberapa studi menyimpulkan bahwa pembentukan fungi mikoriza menurun dengan bertambahnya salinitas tanah. Peningkatan level salinitas tanah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan tajuk sehingga mengakibatkan penurunan area fotosintesis pada tanaman.
Ruiz-Lozano dan Azcoon (2000) mengemukakan bahwa fungi mikoriza seperti Glomus sp mampu hidup dan berkembang pada kondisi salinitas yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fungi mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada habitat salin. Tanaman bawang merah yang diinokulasikan dengan fungi mikoriza dari spesies Glomus ternyata memiliki berat bulbus dan bobot kering bawang serta total serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasikan baik pada tingkat salinitas rendah (-0,06 Mpa), sedang (-0,20 Mpa) dan tinggi (-0,4 Mpa). Namun demikian infeksi fungi mikoriza cenderung menurun secara linier dengan meningkatnya salinitas.

Ultisol


Tanah masam didefinisikan sebagai tanah yang mengandung konsentrasi relatif H+ yang tinggi. Pada pH di bawah tiga, H+ menjadi toksik sedangkan pada pH di bawah lima terjadi toksisitas Al, defisiensi Ca, Mg, dan K (Marschner, 1991). Tanah masam tersebut biasanya disebut sebagai tanah ultisol. Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial,.
Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan teknik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah bagaimana menghilangkan pengaruh toksik dari aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman yang tercekam Al akan mengalami kerusakan ujung akar sehingga pemanjangan akar terhambat, akar terlihat pendek dan gemuk. Kerusakan akar karena cekaman Al menyebabkan tanaman mengalami kekahatan hara dan cekaman kekeringan sehingga pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah Ultisol.
Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (VMA) dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi masalah pada tanaman yang mengalami cekaman Al. Adanya hifa eksternal dari VMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air. Kemampuan adaptasi tanamanterhadap cekaman Al dapat ditingkatkan denganinokulasi VMA. Simbiosis VMA dan tanaman terbuktimampu meningkatkan serapan hara, terutama P, ketahanan terhadap kekeringan, serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol (Cumming dan Ning, 2003). Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.

Saturday, March 12, 2011

Mengenal Resin Dan Lateks


Definisi Umum Resin
Resin adalah cairan getah lengket yang dipanen dari beberapa jenis pohon hutan. Spesimen resin yang ditemukan di situs-situs prasejarah merupakan bukti bahwa kegiatan pengumpulan hasil hutan sudah sejak lama dilakukan. Hutan-hutan alam Indonesia menghasilkan berbagai jenis resin. Terpentin (resin Pinus) dan kopal (resin Agathis) pernah menjadi resin bernilai ekonomi yang diperdagangkan dari Indonesia sebelum Perang Dunia II. Pada awalnya masyarakat mengetahui bahwa resin dihasilkan oleh tanaman gymnospermae, tetapi saat ini banyak tanaman angiospermae yang dapat digunakan sebagai penghasil resin. Contohnya adalah jagung (Zea mays) dan gaharu (Aquilaria malaccensis).
Richana (2007) menyebutkan bahwa tongkol jagung banyak sekali mengandung senyawa xylan yang merupakan bahan baku industry furfural dan gula. Sebagai bahan baku industri, xilan dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan pembuatan nilon dan resin. Hidrolisis xilan menghasilkan furfural yang dapat digunakan sebagai bahan pelarut industri minyak bumi, pelarut reaktif untuk resin fenol, disinfektan serta sebagai bahan awal untuk memproduksi berbagai bahan kimia dan polimer lainnya (Mansilla et al., 1998). Sedangkan pada tanaman gaharu resin berupa fitoaleksin yang berwarna coklat dengan aroma yang khas sehingga resin dari tanaman ini lebih sering digunakan sebagai bahan baku minyak wangi.
Pada umumnya resin digunakan sebagai obat tradisional, astringent dan detergen yang diberikan pada penderita diare dan disentri. Resin juga digunakan sebagai salep untuk penyakit kulit dan menyembuhkan gangguan pendengaran, kerusakan gigi, sakit mata, bisul dan luka (Appanah dan Turnbull 1998).

Damar
Damar adalah istilah yang umum digunakan di Indonesia untuk menamakan resin dari pohon-pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae dan beberapa suku pohon hutan lainnya. Sekitar 115 spesies, yang termasuk anggota (tujuh dari sepuluh) marga Dipterocarpaceae menghasilkan damar. Pohon-pohon tersebut tumbuh dominan di hutan dataran rendah Asia Tenggara, karena itu damar merupakan jenis resin yang lazim dikenal di Indonesia bagian barat. Biasanya, damar dianggap sebagai resin yang bermutu rendah dibanding kopal atau terpentin (Abang, 2009).
Ada dua macam damar yang dikenal umum, dengan kualitas yang jauh berbeda. Pertama adalah damar batu, yaitu damar bermutu rendah berwarna coklat kehitaman yang keluar dengan sendirinya dari pohon yang terluka. Gumpalan-gumpalan besar yang jatuh dari kulit pohon dapat dikumpulkan dengan menggali tanah di sekeliling pohon. Di seputar pohon-pohon penghasil yang tua biasanya terdapat banyak sekali damar batu. Jenis kedua adalah damar mata kucing; yaitu damar yang bening atau kekuningan yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal, yang dipanen dengan cara melukai kulit pohon (Simpson, 2001). Sekitar 40 spesies dari genus Shorea
dan Hopea menghasilkan damar mata kucing, di antaranya yang terbaik adalah Shorea javanica dan Hopea dryobalanoides.
Sejak tiga ribu tahun yang lalu, damar telah memasuki jalur perdagangan jarak pendek di Asia Tenggara. Damar mungkin juga sudah menjadi produk dagang jarak jauh pertama yang berkembang antara Asia Tenggara dengan Cina di antara abad ke III dan ke V. Pada abad ke X damar kembali muncul dalam daftar produk-produk yang dijual ke Cina dari Asia Tenggara. Sedangkan ekspor damar ke Eropa dimulai pada tahun 1829 dan ke Amerika pada tahun 1832. Di daerah penghasilnya, damar digunakan sebagai bahan untuk penerangan dan mendempul perahu. Secara tradisional, damar juga diperdagangkan sebagai dupa, bahan pewarna, perekat dan obat. Pada pertengahan abad XIX lalu, seiring dengan berkembangnya industri pernis dan cat di Eropa dan Amerika yang kemudian disusul dengan Jepang dan Hong Kong, damar mulai memperoleh nilai ekonomi baru. Tetapi sejak tahun 1940-an, damar mendapat saingan berat dari resin sintetik hasil pengolahan minyak bumi (petrokimia) yang lebih disukai kalangan industri.
Dewasa ini Indonesia merupakan satu-satunya negara penghasil damar di dunia. Sasaran utama penjualan damar adalah  pabrik-pabrik cat bermutu rendah di dalam negeri, sedangkan damar berkualitas tinggi diekspor terutama ke Singapura. Di Singapura, damar disortir dan diproses dan kemudian diekspor kembali sebagai dupa atau bahan baku untuk pabrik-pabrik cat di negara-negara industri. Pada tahun 1984 duapertiga dari produksi damar diserap oleh pasar lokal yakni pabrik-pabrik cat (60%), pembuatan dupa (24 %), dan industri batik tulis (16%). Diramalkan prospek pasar-pasar tersebut tingkatnya sedang sampai rendah terutama karena masuknya resin-resin petrokimia ke pabrik-pabrik cat lokal, dan juga karena tergesernya batik tulis oleh batik industri yang tidak membutuhkan damar. Pasar ekspor, yang menyerap sepertiga volume produksi, menuntut kualitas yang tinggi tetapi menawarkan prospek yang lebih baik. Secara teratur volume ekspor menunjukkan peningkatan, dari 1972 sampai 1983 tercatat kenaikan 250-400 ton per tahun.
Secara tradisional, damar digunakan sebagai bahan bakar obor penerang, penambal perahu, dan kerajinan tangan. Resin Dipterocarpaceae juga digunakan sebagai campuran resin aromatik yang berupa styrax benzoin (Stiracaceae) yang digunakan sebagai kemenyan dan obat-obatan. Damar secara luas digunakan sebagai kemenyan untuk upacara keagamaan dan sebagai desinfektan fumigant. Sejumlah besar damar juga dibutuhkan pada “Samagri” untuk kremasi jenazah. Damar dapat digunakan sebagai lilin pengeras pada industri semir, kertas karbon, pita mesin ketik, industri vernis, dan bantalan objek mikroskopik. Damar juga digunakan sebagai pelapis dinding dan atap, perekat kayu lapis dan asbes (Appanah dan Turnbull 1998).
Lebih jauh, damar juga digunakan pada berbagai kegiatan teknis seperti pembuatan cat, celupan batik, lilin pelayaran, tinta cetak, linoleum dan kosmetik. Triterpenes yang diisolasi dari damar telah digunakan sebagai media antivirus pada budidaya in vitro, untuk mengatasi penyakit Herpes simplex virus tipe I dan II (Poehland et al., 1996).  

Asal-Asul Lateks
Pada tahun 1493 Michele de Cuneo melakukan pelayaran ekspedisi ke Benua Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua Baru”. Dalam perjalanan ini ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah. Pohon - pohon itu hidup secara liar di hutan pedalaman Amerika. Penduduk Amerika mengambil getah dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang didapat kemudian dijadikan bola yang dapat dipantul - pantulkan. Bola ini disukai penduduk asli sebagai permainan. Penduduk Indian Amerika juga juga membuat alas kaki dan tempat air dari getah tersebut.
Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman Hevea. Hasil laporan Ekspedisi Peru ditulis dalam buku oleh Frenhneau tahun 1749 dengan menyebut nama tersebut. Freshneau juga menyertakan gambar dari tanamana tersebut. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1751, De La Condomine membuat usulan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tanamana Hevea ini. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar, tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas (Tjitrosoepomo, 2005). Di beberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.

Perkembangan Tanaman Karet
Pengenalan pohon Hevea membuka langkah awal yang sangat pesat ke arah zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, karet memiliki sejarah yang cukup panjang. Apalagi setelah ditemukan beberapa cara pengolahan dan pembuatan barang dari bahan baku karet, maka ikut berkembang pula industri yang mengolah getah karet menjadi bahan berguna untuk kehidupan manusia. 
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir. Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit berkurang (McMahon, 2007).
 Kulit karet dengan ketinggian 260 cm dari permukaan tanah merupakan bidang sadap petani karet untuk memperoleh pendapatan selama kurun waktu sekitar 30 tahun. Oleh sebab itu penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merisak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan, maka produksi karet akan berkurang. Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan faktor kesehatan tanaman (Setyamidjaja, 1993).
Lateks ialah cairan berwarna putih yang keluar dari pembuluh pohon karet bila dilukai. Pembuluh karet adalah suatu sel raksasa yang mempunyai banyak inti sel sehingga. Lateks ini juga disebut protoplasma. Lateks juga didefenisikan sebagai sistem fosfolipida yang terdispersi dalam serum. Lateks adalah disperse stabil (emulsi) polimer mikropartikel dalam media air. Lateks ditemukan di alam berupa cairan seperti susu dan terdapat pada 10% tumbuhan angiospermae. Lateks merupakan emulsi kompleks yang terdiri dari protein, alkaloid, karbohidrat, tannin, resin yang menggumpal karena terpapar udara (Agrawal, 2009). Bagi tumbuhan lateks berfungsi sebagai antimikroba, hama, ataupun penyakit (Agrawal, 2009). Beberapa penyakit yang kerap kali merusak tanaman karet adalah sebagai berikut :
  1. Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus)
Serangan jamur menyebabkan akar menjadi busuk dan apabila perakaran dibuka maka pada permukaan akar terdapat semacam benang-benang berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit dilepas.
B.     Penyakit Bidang Sadap
1.      Mouldy Rot yang disebabkan oleh jamur Ceratocystis fimbriata. Gejala serangan penyakit ini meliputi :
·         Mula-mula tampak selaput tipis berwarna putih pada bidang sadap didekat alur sadap. Selaput ini berkembang membentuk lapisan seperti beludru berwarna kelabu sejajar dengan alur sadap.
·         Apabila lapisan dikerok, tampak bintik-bintik berwarna coklat kehitaman.
·         Serangan bisa meluas sampai ke kambium dan bagian kayu.
·         Pada serangan berat bagian yang sakit membusuk berwarna hitam kecokelatan sehingga sangat mengganggu pemulihan kulit.
·         Bekas serangan membentuk cekungan berwarna hitam seperti melilit sejajar alur sadap. Bekas bidang sadap bergelombang sehingga menyulitkan penyadapan berikutnya atau tidak bisa lagi di sadap.
2.      Kering Alur Sadap (KAS) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan fisiologis dan penyadapan yang berlebihan. Gejala serangan yang terlihat meliputi :
·         Tanaman tampak sehat dan pertumbuhan tajuk lebih baik dibandingkan tanaman normal. Tidak keluar latek di sebagian alur sadap. Beberapa minggu kemudian keseluruhan alur sadap ini kering dan tidak me-ngeluarkan lateks.
·         Lateks menjadi encer dan Kadar Karet Kering (K3) berkurang.
·         Kekeringan menjalar sampai ke kaki gajah baru ke panel sebelahnya.
·         Bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat dan kadang-kadang terbentuk gum (blendok).
·         Pada gejala lanjut seluruh panel / kulit bidang sadap kering dan pecah-pecah hingga mengelupas.
3.      Jamur Upas
Penyebabnya adalah jamur Corticium salmonicolor. Gejala serangan penyakit ini adalah:
·         Stadium sarang laba-laba. Pada permukaan kulit bagian pangkal atau atas percabangan tampak benang putih seperti sutera mirip sarang laba-laba.
·         Stadium bongkol. Adanya bintil-bintil putih pada permukaan jaring laba-laba.
·         Stadium kortisium. Jamur membentuk selimut yaitu kumpulan benangbenang jamur berwarna merah muda. Jamur telah masuk ke jaringan kayu.
·         Stadium nekator. Jamur membentuk lapisan tebal berwarna hitam yang terdiri dari jaringan kulit yang membusuk dan kumpulan tetesan lateks yang berwarna coklat kehitaman meleleh di permukaan bagian terserang. Cabang atau ranting yang terserang akan membusuk dan mati serta mudah patah.
(Ingham, 1972).
Daftar Pustaka

Abang. 2009. Contoh Agroforesty. http://abang.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 November 2010 Pukul 19.45 WIB.
Agrawal AA, Konno K. 2009. Latex: A Model for Understanding Mechanisms, Ecology, and Evolution of Plant Defense Against Herbivory. Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst. 40:311–31.
Appanah, S dan Turn bull, J.M. 1998. A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology, and Silviculture. Center for International Forest Research. Bogor.
Ingham, John. 1972. Phytoalexin And Other Natural Products as Factors in Plant Disease Resistance. The Botanical Review 38 (3): 343-424.
Mansilla, H.D., J. Baeza, S. Urzua, G. Maturana, J. Villasenor and N. Duran. 1998. Acid-Catalyzed Hydrolysis of Rice Hull: Evaluation of Furfural Production. J.Bioresource Technol. 66:189-193
McMahon, Margaret, et. all. 2007. Hartmann’s Plant Science-Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. Pearson Prentice Hall : New Jersey.
Poehland, B.L., Carta, B. K., Francis, T. A., Hyland, L.J., Allaudeen, H.S. and Troupe, N. 1987. In-Vitro Antiviral Activity of Dammar Resin Triterpenoids. Jurnal of Natural Product 50: 706-713
Richana, Nur., dkk. 2007. Ekstraksi Xylan Dari Tongkol Jagung. Pascapanen. 4 (1): 38-43
Setyamidjaja, Djoehana. 1993. Budidaya dan Pengolahan Karet. Cetakan I. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Simpson, B.B and Molly, C.O.2001. Economic Botany Third edition, Plants in our World. McGraw-Hill International: Boston.
Tjitrosoepomo,Gembong. 2005. Morfologi Tumbuhan.UGM Press: Yogyakarta.

Kaktus Kaktus

Kaktus adalah nama yang diberikan untuk anggota tumbuhan berbunga famili Cactaceae. Kaktus dapat tumbuh pada waktu yang lama tanpa air. Kaktus biasa ditemukan di daerah-daerah yang kering (gurun). Kata jamak untuk kaktus adalah kakti. Kaktus memiliki akar yang panjang untuk mencari air dan memperlebar penyerapan air dalam tanah. Air yang diserap kaktus disimpan dalam ruang di batangnya. Kaktus juga memiliki daun yang berubah bentuk menjadi duri sehingga dapat mengurangi penguapan air lewat daun. Oleh sebab itu, kaktus dapat tumbuh pada waktu yang lama tanpa air (Anderson, 2001).
Menurut sistem APG (Angiosperm Phylogeny Groups) II, klasifikasi kaktus terutama spesies Opuntia vulgaris adalah sebagai berikut:
Regnum            : Plantae
Divisio              : Spermatophyta
Classis             : Core Eudicots
Ordo                 : Caryophyllales
Familia              : Cactaceae
Genus               : Opuntia
Spesies             : Opuntia vulgaris

Sejarah
Penemuan tentang kaktus dipercayai telah dimulai lama sebelum bangsa Eropa menemukan Dunia Baru. Namun, berbagai informasi mengenai tumbuhan tersebut hilang ketika terjadi penjajahan oleh Spanyol. Referensi pertama mengenai tanaman kaktus ditemukan pada abad ke-16 di dalam bab 16 dari buku Historia general y natural de las Indias (1535). Penulis buku tersebut, Hernandez de Oviedo y Valdez mendeskripsikan kaktus sebagai tanaman yang memiliki duri yang khas dan buah yang unik. Sebagian besar spesies kaktus berasal dari Amerika Utara, Selatan, dan Tengah. Genus kaktus pertama yang diimpor ke Eropa adalah Melocactus. Seorang botaniawan asal Swedia, Carl Linnaeus, memberikan nama kaktus yang diambil dari bahasa Yunani Κακτος kaktos. Dalam bahasa Yunani klasik, kata tersebut memiliki makna tanaman liar berduri (Anderson, 2001).

Kaktus merupakan tumbuhan asli Amerika. Kaktus itu ada bermacam-macam. Ada yang bentuknya seperti batu-batu kecil yang ukurannya tidak lebih dari 5 cm, misalnya Lithop, Titanopsis, Lapidaria, Penestraria, dan Gibbaeum. Ada pula kaktus-kaktus raksasa yang sering kita lihat di film-film koboi, seperti Cereus peruvianus.
Kaktus termasuk kelompok tanaman succulent yaitu tanaman yang banyak mengandung air di tubuhnya, sama seperti lidah buaya dan cocor bebek. Selama musim penghujan, batang kaktus akan membengkak karena terisi air, sementara saat kemarau batangnya perlahan-lahan menyusut. Bunga kaktus sangat menyolok dan cukup berbeda daripada bunga tanaman lain. Di Indonesia kaktus mulai dikenal awal tahun 1900-an. Mulanya pemerintah Belanda mendatangkan kaktus jenis duri entong (Cereus peruvianus) dan kaktus duri gambas (Opuntia monocantha) sebagai makanan ternak.
Lebih dari 2000 jenis kaktus ada di belahan bumi. Dari 100an marga, kaktus dikelompokan menjadi 3 suku: Preskioidea, Opuntodeae dan Cereoidea. Jenis Preskioidea biasanya mempunyai daun dan berduri. Bentuknya bisa berupa pohon semak hingga tinggi 10 meter. Karakteristik opuntodeae lain lagi, kelompok ini memiliki batang beruas. Bentuknya bulat telur, pipih, memanjang atau berupa semak. Adakalanya berdaun namun mudah gugur. Opuntodeae juga memiliki areole yang berduri. Jenis terakhir, Cereoidea paling banyak dijumpai. Sebagian jenis ada yang menyerupai silinder, beruas, bulat, bahkan memanjang. Jenis ini tidak memiliki daun dan areolenya ditumbuhi aneka bentuk duri (Budi, 2004).
Memperbanyak Kaktus
Kaktus bisa dikembang-biakkan dengan berbagai cara. Sebagian orang meperbanyak dengan biji. Walaupun sedikit rumit, cara ini masih tetap dilakukan. Pertama biji kaktus harus dikeringkan, direndam dalam air hangat baru disebar dalam media semai yang biasanya berupa pasir halus, batu bata tumbuk dan tanah kompos. Setelah kaktus berumur setahun dan mempunyai panjang 4-5 cm, kaktus sudah bisa dipindahkan ke media tanam.
Cara yang paling mudah memperbanyak kaktus adalah dengan setek batang. Jika dilakukan dengan cara yang benar, steak paling rendah risiko kegagalannya. Batang kaktus dipilih yang tidak terlalu tua atau muda. Potong dengan pisau tajam sepanjang 6 cm. Biarkan 7 - 10 hari di tempat yang sejuk agar luka mengering. Proses berikutnya tinggal menanam di media tanam. Perlu diperhatikan, untuk jenis kaktus bulat atau beruas, pemotongan sebaiknya dilakukan tepat pada bagian ruasnya. Bekas potongan pada tanaman induk biasanya akan tumbuh tunas baru yang siap menjadi bibit setek baru.
Menyambung kaktus/grafting semakin diminati. Teknik ini mempunyai kelebihan, selain diperoleh bibit tanaman baru, grifting juga menciptakan dua jenis tanaman dari kaktus yang berbeda sehingga mempercantik penampilan. Pertama, siapkan batang induk/batang bawah, jenis cereus spachianus atau opuntia ficus indica bisa digunakan karena kuat perakarannya. Proses sambung kaktus harus cepat dilakukan sebelum bekas potongan mengering agar menempel sempurna. Ada banyak cara sambung kaktus, namun metode sambung rata dan sambung serong paling banyak dilakukan. Prosesnya hampir sama, potong rata atau serong batang induk dan batang atas dari jenis yang berbeda. Cara cepat tempelkan dan perkuat dengan tali rafia atau benang. Sambung kaktus terlihat berhasil jika terjadi pertumbuhan pada batang atas dan tali pengikat bisa dilepas (Budi, 2004).
Manfaat Kaktus        
Berbagai jenis kaktus telah lama dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, salah satunya adalah Opuntia. Spesies ini banyak dikultivasi untuk diambil buah dan batang mudanya.Buah Opuntia banyak diolah menjadi selai yang disebut queso de tuna. Sementara itu, batang muda Opuntia yang dikenal sebagai nopalitos akan dikuliti dan digoreng, dikukus, atau diolah menjadi acar dalam cuka asam-manis. Sekarang ini, Opuntia juga masih dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kosmetik, dan obat-obatan.Dulunya, spesies kaktus Carnegiea gigantean dimanfaatkan sebagai bahan dasar tepung untuk pembuatan roti. Namun tepung ini sudah tidak lagi dimanfaatkan karena masyarakat lebih menyukai tepung dari jagung. Bagian akar dari Echinocactus platycanthus juga diolah dalam cairan gula untuk dijadikan permen. Bagian akar berkayu ataupun pembuluh vaskular yang mengandung lignin dari kaktus juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan bahan bakar (Caldelario, 2002).
Pada zaman dahulu, penduduk asli Meksiko menggunakan rebusan daun kaktus untuk memurnikan air sungai yang kotor sebelum diolah menjadi air minum. Partikel tanah dan kotoran lain langsung mengendap begitu dicampur dengan rebusan kaktus. Perilaku penduduk Meksiko ini kemudian diteliti oleh Norma Alcantar, seorang ahli teknik biokimia dari University of South Florida. Kebetulan, Norma sendiri merupakan keturunan warga asli Meksiko yang menghuni Amerika Latin. Bagi tanaman kaktus, mucilago merupakan pelindung terhadap terik matahari. Zat ini mencegah penguapan air dari permukaan kaktus, sehingga tanaman ini dapat bertahan hidup di lingkungan yang kekurangan air seperti gurun pasir (Pramudiarja, 2010).
Ketika bercampur dengan air kotor, mucilago yang tersusun dari gula dan karbohidrat itu mengikat partikel-partikel halus yang mengotori air. Ikatan itu lalu menggumpal, sehingga mudah dipisahkan dari bagian air yang bersih. Arsenik yang bisa menyebabkan kanker itu bisa juga diikat oleh mucilago, menjadi molekul yang cukup besar sehingga bisa disaring dengan pasir.Bukan hanya itu saja, mucilago juga dapat membunuh bakteri yang merupakan salah satu polutan berbahaya dalam air minum. Belum diketahui pasti bagaimana mekanismenya, namun mucillago bisa menghasilkan air bersih yang 98 persen bebas bakteri (Pramudiarja, 2010).
Tanaman kaktus jenis nopal atau Opuntia vulgaris juga dimanfaatkan sebagai bahan pijat atau spa khususnya di daerah Punta Mia, Mexico. Duri kaktus dibuang dari dagingnya, kemudian direbus dalam air hangat. Setelah lunak, daging kaktus dipijatkan ke seluruh tubuh. Daging kaktus ini sekilas mirip dengan lidah buaya. Daging kaktus diketahui ampuh melembapkan, mendetoks, dan membatu mengobati luka bakar pada kulit. Tak seperti jenis pemijatan lain yang mesti menggunakan minyak, pemijatan ini dilakukan dengan air kaktus yang cepat menyerap ke kulit. Air ini juga tak berlendir atau lengket sehingga setelah dipijat tidak diperlukan mandi seperti pemijatan dengan minyak pijat pada umumnya (Daneswari, 2010).
Selain digunakan sebagai bahan pijat, kaktus di Mexico merupakan salah satu tumbuhan yang mampu menambah devisa negara. Buah spesies Opuntia yang dikenal sebagai ‘tunas’ merupakan salah satu komoditi ekspor Mexico ke Amerika Srerikat (USA). Selain sebagai buah, batangnya dapat dijadikan sayur. Kaktus termasuk ke dalam tumbuhan agroindustry karena berbagai olahannya telah di jual di pasar-pasar tradisional ataupun supermarket modern. Contoh olahan kaktus tersebut adalah marmalade, jus buah kaktus serta produk-produk bahan pelekat seperti pektin (Vigueras, 2001).


Daftar Pustaka
Anderson, Edward F. (2001). The Cactus Family. Timber Press, Incorporated. ISBN 0-88192-498-9
Budi, Sutomo. 2004. Kaktus, Menebar Pesona Lewat Durinya. http://budiboga.logspot.com. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 Pukul 20.15 WIB.
Candelario Mondragón-Jacobo, Salvador Pérez-González, (2002). Cactus (Opuntia spp.) as forage. Food & Agriculture Organization of the United Nations. ISBN 978-92-5-104705-7.
Daneswari, Prita. 2010. Spa kaktus, Pemijatan Ala Meksiko. http://mediaindonesia.com. Diakses pada tanggal 8 Desember 2010 Pukul 20.00 WIB.
Pramudiarja, Uyung. 2010. Getah kaktus Dapat Memurnikan Air Minum. http://detikhealth.com. Diakses Pada tanggal 7 Desember 2010 Pukul 20.30 WIB.
Vigueras Gal, Ortillo LP (December 2001). Uses Of Opuntia Spesies And The Potential Impact Of Cactoblastis Cactorum (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) In Mexico . Florida Entomologist 84 (4): 493-8.

Friday, March 11, 2011

Respon Tanaman Terhadap Cekaman Kekeringan


Spesies tumbuhan bertahan dari kekeringan dengan berbagai cara. Tumbuhan seperti Prosopis glandulosa dan Medicago sativa mempunyai akar yang dapat memanjang 7 sampai 10 m ke bawah mencapai muka air tanah, tidak pernah mengalami potensial air negatif yang ekstrem. Tumbuhan tersebut adalah pengguna air. Tumbuhan ini ternyata menghindari kekeringan. Tentu saja tumbuhan itu harus mampu menggunakan air tanah sewaktu memanjangkan akarnya menuju muka air tanah (Salisbury dan Ross, 1995).
            Stress air (kekeringan) pada tanaman dapat disebabkan oleh dua halyaitu kekurangan suplai air di daerah akar dan permintaan air yang berlebihan oleh daun, dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorsi air oleh akar tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup (jenuh). Dengan demikian  jelaslah bahwa stress air pada tanaman dapat terjadi pada keadaaan air tanha tidak kekurangan (Harjadi danYahya, 1988).
            Dalam penelitian Nurhayati (2007) mengatakan bahwa mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan berbeda-beda tergantung kemampuan genetiknya, kekurangan defisit air yang parah ditunjukkan dengan perkembangan  sistem pembungaan, tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan penyerapan air atau menekan kehilangan air tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaranya, regulasi stomata dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun dan pengguguran daun.
            Respon tercepat terhadap munculnya cekaman dengan keadaan fisik dari luas daun dari pada perubahan kimia. jika kandungan air dari tumbuhan berkurang maka sel akan menyempit dan dinding sel juga ikut meyempit. Pengurangan volum sel menyebabkan tekanan hidrostatik menurun atau tekanan turgornya juga menurun. Peningkatan dari penurunan air lebih nyata terlihat lebih jelas terlihat dalam sel. Membran plasma menjadi menyempit dan lebih tertekan, daunnya lebih mengecil dari sebelumnya karena telah kehinlangan tekanan yang merupakan pengaruh yang nyata terhadap fisik dari penurunan cekaman air. Dapat disimpulkan tekanan turgor sangat mempengaruhi aktivitas yang menyebabkan sensitif terhadap cekaman kekeringan. Pertahanan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan adalah membatasi perkembangan luas daun, perkembangan akar untuk mencapai daerah yang masih basah dan penutupan stomata untuk mengurangi transpirasi (Taiz dan Zeiger, 1991).

Peran Mikorhiza Pada Tanah Salin


Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah salinitas tanah. Tanah bersalinitas tinggi biasanya banyak ditemukan di daerah mangrove dan hutan pantai. Pengaruh salinitas paling umum adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peningkatan konsentrasi garam dalam tanah menyebabkan terjadinya perubahan morfologi dan fisiologi tanaman dengan metabolisme yang abnormal akibat kandungan garam di jaringan tanaman, selain itu terjadi penurunan potensial osmotik tanah sehingga menyulitkan penyerapan air dan hara bagi tanaman, merusak kloroplas dan mengganggu proses fotosintesis yang akhirnya menekan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah di daerah perakaran tanaman menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi dan berkurangnya ketersediaan unsur kalium bagi tanaman. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh salinitas terhadap pembentukan fungi mikoriza perlu diketahui bagaimana pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman inang. Beberapa studi menyimpulkan bahwa pembentukan fungi mikoriza menurun dengan bertambahnya salinitas tanah. Peningkatan level salinitas tanah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan tajuk sehingga mengakibatkan penurunan area fotosintesis pada tanaman.
Ruiz-Lozano dan Azcoon (2000) mengemukakan bahwa fungi mikoriza seperti Glomus sp mampu hidup dan berkembang pada kondisi salinitas yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fungi mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada habitat salin. Tanaman bawang merah yang diinokulasikan dengan fungi mikoriza dari spesies Glomus ternyata memiliki berat bulbus dan bobot kering bawang serta total serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasikan baik pada tingkat salinitas rendah (-0,06 Mpa), sedang (-0,20 Mpa) dan tinggi (-0,4 Mpa). Namun demikian infeksi fungi mikoriza cenderung menurun secara linier dengan meningkatnya salinitas.

Peran Mikorhiza Bagi Tumbuhan


Adanya fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, K, Fe dan Mn untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan akar terutama di daerah yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan kurang air. Akar tanaman bermikoriza ternyata meningkatkan penyerapan seng dan sulfur dari dalam tanah lebih cepat daripada tanaman yang tidak bermikoriza (Abbot dan Robson 1984). Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin hara atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peran fungi ini tidak begitu nyata (Setiadi, 2001; Lakitan, 2000).
Menurut Siradz et al., (2007), hampir semua tanaman asli lahan pantai terinfeksi oleh fungi mikoriza. Hubungan antara jumlah spora dengan pertumbuhan tanaman menunjukkan hubungan positif dalam hal menyerap unsur hara. Hubungan yang positif tersebut cukup memberikan indikasi yang jelas tentang peluang penggunaan fungi mikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, membantu memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat struktur agregat tanah.
Menurut Marx (1982), akar tanaman yang terbungkus oleh fungi mikoriza menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan penyakit dan hama. Infeksi patogen terhambat, disamping itu fungi mikoriza menggunakan semua kelebihan dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen.

Thursday, March 10, 2011

Kontaminasi Eksplan

Kontaminasi merupakan proses yang lazim terjadi di setiap kegiatan kultur jaringan tumbuhan. George (2008) mengatakan bahwa kontaminan dapat berasal dari eksplan, lingkungan kerja, ataupun alat inokulasi dimana responnya dapat berlangsung dalam waktu cepat atau beberapa waktu setelah inokulasi eksplan. Pada umumnya, kontaminasi yang terjadi beberapa waktu (misalnya 1 bulan) setelah inokulasi dikarenakan kontaminan berada di dalam jaringan eksplan dan disebut kontaminan internal dimana penanggulangannya tidak cukup dengan sterilisasi pada permukaan eksplan.
Jika ditinjau dari kecepatan (waktu) kontaminasi, maka kontaminasi dibagi menjadi dua. Yaitu initial  dan latent contamination. Dinamakan initial contaminant karena kontaminasi muncul beberapa hari setelah inokulasi. Initial contaminant merupakan jenis kontaminasi yang dapat disebabkan karena materi kultur (eksplan) yang berasal dari greenhouse atau lapangan terlalu kotor dan sterilisasi yang dilakukan kurang optimal.  Sedangkan latent contamination merupakan kontaminasi yang muncul pada saat 30 hari (satu bulan) setelah inokulasi dan biasanya kontaminan bersifat internal atau berada di dalam jaringan tumbuhan.
George (2008) mengemukakan bahwa kontaminan yang paling sering menyerang eksplan adalah bakteri dan fungi. Respon eksplan terhadap bakteri adalah 2×24 jam, sedangkan respon eksplan terhadap fungi adalah 1×24 jam. Menurut Irwanto (2006), bakteri yang mengkontaminasi eksplan akan membentuk gumpalan lumpur pada permukaan medium dan berwarna kuning atau orange sedangkan fungi berwarna putih dan berbentuk bulu-bulu halus, biasanya menyerang permukaan ujung atas eksplan.