Pages

Tuesday, April 26, 2011

Asosiasi trophobiont Hemiptera dengan Ryparosa – Cladomyrma


Asosiasi awal dari Hemimptera trophobiont dengan koloni Cladomyrma pada Ryparosa fasciculata merupakan faktor penting bagi kelangsungan kolonisasi Cladomyrma pada R. fasciculata.  karena Hemiptera trophobion seperti coccoids bersifat produktif pada fase awal kehidupannya dalam arti menghasilkan makanan yang dibutuhkan Cladomyrma (Moog, 2009).
Ratu Cladomyrma tidak dapat membawa coccoids dewasa, karena itulah pada fase larva, coccoids akan masuk ke dalam sarang (nesting chamber) Cladomyrma melalui celah kecil yang dibuat oleh si ratu Cladomyrma atau dibawa oleh Cladomyrma pekerja khusus . Setelah larva coccoids berada di dalam sarang maka dengan segera coccoids mengeluarkan honeydew yang merupakan derivat dari getah Ryparosa yang kaya akan gula, protein, asam amino, serta garam-garam mineral (Webber, 2007).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa getah yang dihasilkan Ryparosa merupakan senyawa toksik yang dapat merusak jaringan Ryparosa fasciculata, tetapi merupakan sumber makanan bagi coccoids (Hemiptera) dan honeydew yang disekresikan oleh Coccoids merupakan sumber makanan bagi Cladomyrma yang bersarang di tempat yang sama dengan Coccoids tersebut. Sementara itu, dimanfaatkannya honeydew oleh Cladomyrma merupakan suatu proteksi terhadap predator yang dibentuk oleh Cladomyrma untuk Coccoids (Hemiptera trophobiont). Hal tersebut dikarenakan honeydew merupakan sinyal kimia bagi predator Coccoids terhadap keberadaan mangsanya tersebut, sehingga dengan dimakannya honeydew oleh Cladomyrma semakin sulit bagi predator Coccoids menemukan sarang mangsanya dan kemungkinan hidup Coccoids semakin tinggi (Delabie, 2001). 

Daftar Pustaka

Delabie, Jacques. 2001. Trophobiosis Between Formicidae and Hemiptera (Sternorrhyncha and Auchenorrhyncha): An Overview. Neotropical Entomology. 30 (4): 501-516.

Moog, Joachim. 2009. The Assosiations of The Plant-Ant, Cladomyrma With Plants in Southeast Asia. Disertation. Johann Wolfgang Goethe-Universität : Frankfurt

Webber, Bruce., Moog, Joachim., Curtis, A., And Woodrow, I. 2007. The Diversity of Ant-Plant Interactions in The Rainforest Understorey Tree, Ryparosa (Achariaceae): Food Bodies, Domatia, Prostomata, And Hemipteran Trophobionts. Botanical Journal of The Linnean Society. 154: 353-371.

Asosiasi Ryparosa (myrmecoxenic) dan Cladomyrma


Interaksi antara tanaman dan semut merupakan fenomena yang paling sering ditemukan di hutan hujan tropis. Lebih dari 100 genus Angiospermae memiliki spesialisasi pada struktur morfologinya sebagai ‘rumah’ yang menyediakan makanan bagi spesies (koloni) semut dimana interaksinya kerap kali disebut myrmecotrophic. Selain interaksi tersebut, ada beberapa koloni semut yang hanya menggunakan tumbuhan sebagai tempat bersarang dimana interaksinya dinamakan myrmecodomatia. Namun, sebagian besar koloni semut (Cladomyrma) menggunakan spesies tumbuhan sebagai tempat bersarang sekaligus penyedia sumber makanan dan interaksi ini dinamakan myrmecoxenic (Moog, 2003 dalam Moog, 2009).
Salah satu contoh interaksi tumbuhan Myrmecoxenic dengan Cladomyrma adalah antara spesies Ryparosa fasciculata dengan Cladomyrma petalae. Ryparosa fasciculata merupakan salah satu anggota dari familia Achariaceae dimana struktur yang membedakan jenis ini dengan jenis Ryparosa lainnya dapat dilihat pada morfologi percabangan batangnya. Cabang Ryparosa fasciculata terlihat lebih ramping dengan nodus pendek, tetapi memiliki daun yang cukup lebar (55 cm). Struktur tersebut memberikan sedikitnya tiga keuntungan bagi koloni Cladomyrma petalae. Pertama adalah memudahkan semut tersebut untuk membangun sarangnya. ‘Sang Ratu’ dapat memamah batang pohon (cabang) tersebut dengan mudah hingga terbentuk suatu lubang yang berfungsi sebagai sarangnya. 
Keuntungan kedua adalah karena nodus cabang cenderung pendek maka jarak antara tunas dengan batang yang merupakan sarang tidak terlalu jauh sehingga hal ini memudahkan tugas para Cladomyrma pekerja dimana selain menjaga tunas yang merupakan sumber makanannya dari herbivor juga dapat menjaga sarang dari predator.  Keuntungan yang ketiga menciptakan asosiasi lain yaitu dengan spesies tropobiont yang secara tidak langsung juga dapat menjadi sumber makanan bagi Cladomyrma petalae.
Selain struktur morfologinya, susunan anatomi Ryparosa fasciculata juga mempengaruhi interaksinya dengan Cladomyrma petalae. Moog (2009) menyebutkan bahwa keberadaan protostoma pada jaringan Ryparosa memberikan keuntungan tersendiri, baik bagi Cladomyrma petalae maupun bagi Ryparosa fasciculata sendiri. Protostoma merupakan lubang kecil pada daerah parenkim yang semakin memudahkan ‘ratu’ untuk membangun sarang dan sarang yang dibangun pada jaringan tersebut dapat bertahan lebih lama dibandingkan sarang yang dibangun pada jaringan tanpa protostoma. Sedangkan bagi Ryparosa sendiri, protostoma dapat meminimalisasi kerusakan jaringan tubuh lainnya. 

Daftar Pustaka
Moog, Joachim. 2009. The Assosiations of The Plant-Ant, Cladomyrma With Plants in Southeast Asia. Disertation. Johann Wolfgang Goethe-Universität : Frankfurt


Tipe Interaksi Antara Ryparosa sp. (Myrmecoxenic) – Cladomyrma – Hemiptera (trophobiont)


Secara umum Interaksi antara Ryparosa sp. – Cladomyrma – Hemiptera (Trophobiont) bersifat mutualisme karena ketiganya sama-sama memperoleh keuntungan. Ryparosa Myrmecoxenic menjadi tempat tinggal bagi spesies Cladomyrma dan Hemiptera sekaligus sebagai penghasil makanan bagi keduanya. Sedangkan serangga Cladomyrma dan Hemiptera secara tidak langsung ‘menjaga’ Ryparosa dari herbivore dan merupakan agen biocontrol atau bio pestisida.
Moog (2009) mengemukakan bahwa Cladomyrma memperoleh foodbodies dan exra-floral (nectar) dari Ryparosa sebagai sumber makanan. Keberadaan Cladomyrma sendiri menjadi daya tarik bagi spesies Hemiptera trophobiont untuk membentuk koloni di tempat tersebut karena Cladomyrma dapat menjaga Hemiptera tropobiont dari predatornya dan lebih dari itu, Hemiptera trophobiont memperoleh makanan yang berasal dari getah Ryparosa dimana bagi Ryparosa hal ini menguntungkan karena akumulasi getah tersebut dapat merusak jaringan pada batang atau daun Ryparosa fasciculata (Delabie, 2001). Sedangkan Cladomyrma sendiri memperoleh honeydew yang dihasilkan oleh Hemiptera trophobionts sebagai tambahan sumber makanan. Dengan begitu, Cladomyrma semakin giat untuk melakukan tugasnya ‘menjaga’ tunas Ryparosa yang merupakan tempat terbentuknya bunga dan buah. Sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi mutualisme antara Ryparosa sp. dengan Cladomyrma diperantarai oleh keberadaan Hemiptera trophobiont.

Daftar Pustaka

Delabie, Jacques. 2001. Trophobiosis Between Formicidae and Hemiptera (Sternorrhyncha and Auchenorrhyncha): An Overview. Neotropical Entomology. 30 (4): 501-516.

Moog, Joachim. 2009. The Assosiations of The Plant-Ant, Cladomyrma With Plants in Southeast Asia. Disertation. Johann Wolfgang Goethe-Universität : Frankfurt

Monday, April 11, 2011

Interaksi Gigaspora margarita & Cabai (Capsicum annum) pada Tanah Ultisol


Pemenuhan kebutuhan cabai dalam negeri yang mencapai 790 ribu ton per tahun, tidak dapat sepenuhnya mengandalkan produksi dari Pulau Jawa karena lahan produktif banyak dikonversi untuk keperluan lainnya sehingga peningkatan produksi melalui perluasan areal menjadi terbatas. Lahan kering yang tersebar luas di luar Pulau Jawa mencapai 132.88 juta hektar cukup potensial dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanaman cabai. Namun, 33.58% dari luas lahan tersebut atau seluas 44.62 juta ha merupakan jenis tanah Ultisol yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Maluku.
Kemampuan G. margarita menginfeksi akar terlihat berbeda antar genotipe cabai pada kondisi tercekam Al (Tabel 1). Pada kondisi tercekam Al, derajat infeksi FMA tertinggi terdapat pada genotype toleran dan berbeda nyata dengan genotipe peka. Sebaliknya, pada kondisi tanpa cekaman Al derajat infeksi FMA tidak berbeda di antara kedua genotype cabai. Secara umum kemampuan G. margarita menginfeksi akar pada percobaan ini termasuk criteria tinggi, karena derajat infeksi terendah yang diperoleh sebesar 68.86%. Kriteria derajat infeksi FMA yang tergolong tinggi jika persen akar terinfeksinya > 30%.

Cekaman Al menurunkan panjang akar secara nyata, kecuali pada genotipe PBC 619. Penurunan panjang akar pada genotipe toleran lebih rendah dibandingkan genotipe peka. Pada genotipe toleran terjadi penurunan panjang akar sebesar 22.8% (dari 31.6 cm turun menjadi 24.4 cm) untuk PBC 619 dan 23.3% (dari 29.6 cm turun menjadi 22.7 cm) untuk Jatilaba. Pada genotipe peka terjadi penurunan panjang akar sebesar 51.5% (dari 30.7 cm turun menjadi 14.9 cm) untuk Cilibangi 3 dan 50.2% (dari 31.5 cm turun
menjadi 15.7 cm) untuk Helm.
Perakaran tanaman merupakan target utama yangmengalami kerusakan bila tanaman keracunan Al. Oleh karena itu peubah panjang akar menjadi indikator penting untuk melihat kemampuan tanaman beradaptasi pada tanah ultisol yang mempunyai kandungan Al tinggi. Pada penelitian ini genotipe PBC 619 dan Jatilaba mengalami penurunan panjang akar yang lebih kecil dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm. Penurunan panjang akar yang lebih kecil menunjukkan genotipe PBC 619 dan Jatilaba mempunyai daya adaptasi terhadap cekaman Al yang lebih baik dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm. Hasil penelitian lain pada jagung (Pellet et al., 1995), gandum (Samuel et al., 1997), kedelai (Sopandie et al., 2003; Spehar dan Sauza, 2006) dan padi gogo (Sutaryo et al., 2005; Bakhtiar et al., 2007) memperlihatkan hal yang sama, dimana pada kondisi tercekam Al pertumbuhan perakaran tanaman toleran lebih panjang dibandingkan tanaman yang peka. Genotipe dengan sistem perakaran yang lebih panjang dan lebat pada kondisi tercekam Al, akan lebih mampu untuk beradaptasi pada tanah mineral masam.
Kondisi tercekam Al menyebabkan jumlah buah panen menurun pada semua genotipe cabai, namun inokulasi FMA dapat memperkecil penurunan tersebut. Efektivitas FMA untuk mengurangi pengaruh buruk Al dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah buah panen oleh inokulasi FMA. Pada kondisi tercekam Al, inokulasi FMA dapat menghasilkan jumlah buah panen yang lebih banyak dibandingkan tanpa FMA, kecuali pada genotipe Helm (Tabel 3). Pengaruh buruk Al dapat dikurangi oleh inokulasi G. margarita melalui peningkatan jumlah buah panen sebesar 52.2% pada genotipe PBC 619, 64.3 % pada Jatilaba, 57.8% pada Cilibangi 3 dan 38.3% pada Helm.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa inokulasi G. margarita dapat memperbaiki daya adaptasi tanaman cabai terhadap cekaman Al, terutama pada genotipe peka Al. Perbaikan daya adaptasi ditunjukkan oleh adanya peningkatan bobot buah panen yang nyata oleh inokulasi G. margarita pada genotype Cilibangi 3 dan Helm, sehingga bobot buah panen yang dihasilkan tidak berbeda nyata baik dengan control maupun dengan genotipe toleran  
Disadur Dari :
Purnomo, D.W., Bambang, Sapta., Yahya. 2008. Tanggap Pertumbuhan Dan Hasil Cabai (Capsicum annuum L.) Terhadap Inolulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Tanah Ultisol. Bul. Agron. (36) (3) 229 – 235.

Tuesday, April 05, 2011

Media Tanah


Tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran suatu tumbuhan. Selain itu tanah merupakan penyuplai kebutuhan air dan udara. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi, baik senyawa organik maupun anorganik. Secara biologis berfungsi sebagai habitat biota yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara. Ketiga fungsi tersebut secara integral mampu menunjang produktifitas tanah untuk mengehasilkan biomassa serta meningkatkan produksi berbagai macam tanaman seperti tanaman pangan, obat-obatan, industri perkebunan, maupun tanaman hutan (Ali, 2007). Secara ilmiah, tanah atau soil adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison yang terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air, dan udara dimana tanah merupakan media untuk tumbuhnya tanaman. Hal yang patut diingat adalah tanah tidak sama dengan lahan karena lahan meliputi tanah beserta faktor-faktor fisik dan biotik yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Hilangnya fungsi tanah dapat terus-menerus diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan struktur tanah yang baik seperti semula. Lebih lanjut disebutkan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan (4) erosi.
Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi yaitu berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisik tanah, seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, memburuknya sifat-sifat tanah yang tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah, sehingga menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitasnya (Bogidarmanti et .al, 2006).
Menurut Arsyad (1989) secara garis besar, kegiatan pengendalian erosi dan konservasi tanah dapat dilakukan dengan cara metode vegetatif, yaitu penggunaan tanaman atau tumbuhan dan serasahnya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, serta jumlah dan daya rusak aliran permukaan/erosi.
Tanah Sebagai Media Tanaman
Sebagi tempat tumbuhnya tanaman dapat dipastikan bahwa tanah terdiri dari berbagai unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tanaman untuk melangsungkan pertumbuhan dan perkembangannya. Bahan penyusun tanah yang pertama adalah mineral. Bahan mineral berasal dari pelapukan batuan, karena itulah susunan mineral di dalam tanah berbeda-beda sesuai dengan susunan mineral batuan yang lapuk. Menurut asalnya mineral tanah dibedakan menjadi dua, yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer berasal langsung dari batuan beku yang melapuk yang umumnya berbentuk fraksi pasir dan debu. Jumlah mineral primer di alam rendah, tetapi memiliki fungsi yang cukup penting bagi tanah yaitu sebagai cadangan penyedia unsur hara esensial bagi tumbuhan sehingga disebut pula sebagai kerangka tanah. Contoh mineral primer adalah Kwarsa, Kalsit, Dolomit, Apatit, dan Mika. Sementara itu, yang dinamakan mineral sekunder adalah mineral bentukan baru yang terbentuk selama proses pembentukan tanah berlangsung dan umumnya terdapat dalam fraksi liat. Karena itulah mineral sekunder dikatakan pula sebagai mineral liat. Mineral sekunder berperan penting pada proses kapasitas tukar kation serta memperngaruhi daya mengembang dan mengerutnya tanah.
Bahan penyusun tanah selanjutnya adalah bahan organik. Bahan organik merupakan semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman dan hewan, baik yang hidup maupun yang mati, pada berbagai tahap dekomposisi. Bahan organik ini berfungsi sebagai granulator (memperbaiki struktur tanah), sebagai sumber unsur N,P,dan S serta unsur mikro, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, serta sumber energi bagi berbagai mikroorganisme tanah.
Penyusun tanah yang lainnya adalah Air dan Udara. Air terdapat di dalam tanah karena ditahan dan di serap oleh massa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air, atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Pertumbuhan dan produksi tanaman sangat ditentukan oleh keberadaan air tanah. Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman sangat bergantung pada jenis tanaman dan iklim. Misalnya jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman kedelai untuk pertumbuhan sampai panen antara 450-700 mm, bergantung pada kondisi iklim dan umur tanaman. Fase pembungaan memerlukan air yang lebih banyak dari fase vegetatif. Disamping lengas tanah berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman, kadar air tanah juga mempengaruhi mobilitas unsur hara di dalam tanah. Unsur hara yang mobilitasnya sangat rendah akan menyebabkan peredarannya sangat ditentukan oleh lengas tanah. Oleh karena itu takaran pupuk yang tepat pada tingkat ketersediaan air tertentu harus diketahui untuk memperoleh efisiensi pemupukan yang tinggi (Suriadi, 2003). Udara yang ada di dalam tanah sendiri berbeda susunannya dengan udara di atmosfer. Kandungan uap air dan karbondioksida (CO2) di tanah lebih tinggi daripada di atmosfer, sedangkan kandungan O2 tanah lebih rendah daripada O2 atmosfer.
Menurut Gintings et. al, (1995) dalam Bogidarmanti et .al, (2006) disebutkan bahwa persyaratan tempat tumbuh yang utama, yaitu meliputi tinggi tempat, curah hujan, temperatur, tekstur tanah, pH, drainase, dan toleransi tanaman terhadap cahaya. Tanah merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman yang dibudidayakan karena tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman, gudang dan penyuplai unsur hara, serta tempat penyedia air. Kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan ditentukan oleh kesuburan kimia dan fisika tanah. Telah dikatakan sebelumnya bahwa tanah merupakan tempat tumbuhnya suatu tanaman sehingga jenis tanah dapat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya suatu tumbuhan. Berdasarkan sifatnya terkait dengan tanah sebagai media tumbuh tanaman maka tanah dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu tanah humus, tanah vulkanis, tanah aluvial, tanah pasir, tanah laterit, dan tanah pasir.
Tanah humus merupakan tanah yang bersifat sangat subur karena kaya akan bahan-bahan organik. Sedangkan tanah vulkanis adalah jenis tanah yang biasanya berasal dari abu vulkanis gunung berapi dimana sifatnya adalah sangat baik dan subur. Tanah alluvial adalah tanah yang berasal dari endapan alluvium yang dibawa oleh air dan diendapkan di daerah lain. Tanah alluvial ini bersifat subur.
Berbeda dengan ketiga jenis tanah yang telah disebutkan di atas, tanah pasir, laterit, dan kapur merupakan jenis tanah yang sifatnya kurang subur, bahkan tidak subur. Namun, akhir-akhir ini telah dilakukan penelitian guna memanfaatkan lahan kritis yaitu lahan yang sifat tanahnya kurang subur seperti tanah pasir, tanah berkapur, atau tanah yang bersalinitas tinggi.
Contoh Pemanfaatan Tahah Kurang Subur Sebagai Media Tanam
Tanah bersalinitas tinggi biasanya banyak ditemukan di daerah mangrove dan hutan pantai. Pengaruh salinitas paling umum adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman. Peningkatan konsentrasi garam dalam tanah menyebabkan terjadinya perubahan morfologi dan fisiologi tanaman dengan metabolisme yang abnormal akibat kandungan garam di jaringan tanaman, selain itu terjadi penurunan potensial osmotik tanah sehingga menyulitkan penyerapan air dan hara bagi tanaman, merusak kloroplas dan mengganggu proses fotosintesis yang akhirnya menekan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah di daerah perakaran tanaman menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi dan berkurangnya ketersediaan unsur kalium bagi tanaman. Fungi mikoriza seperti Glomus sp mampu hidup dan berkembang pada kondisi salinitas yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fungi mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada habitat salin. Tanaman bawang merah yang diinokulasikan dengan fungi mikoriza dari spesies Glomus ternyata memiliki berat bulbus dan bobot kering bawang serta total serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasikan baik pada tingkat salinitas rendah (-0,06 Mpa), sedang (-0,20 Mpa) dan tinggi (-0,4 Mpa). Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu solusi untuk memanfaatkan tanah salin sebagai media tumbuh tanaman adalah dengan menginokulasikan mikorhiza.
Selain itu dihasilkan pula suatu argumen bahwa tanah pasir berlempung dapat dijadikan sebagai media tanam. Sudomo (2007) mengemukakan bahwa tanah pasir berlempung dapat dijadikan sebagai media tumbuh tanaman sengon dan nilam.
Penelitian pengaruh tanah pasir berlempung terhadap pertumbuhan agroforestry sengon dan nilam tersebut dilaksanakan di areal hutan rakyat Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Nopember 2004 sampai dengan Nopember 2006. Pengambilan dua sampel tanah dilakukan pada bagian atas dan bawah pada lahan hutan rakyat. Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan hutan rakyat tersebut bertekstur tanah pasir berlempung dengan tingkat kesuburan tanah relatif rendah. Penanaman sengon dan nilam dilakukan pada 3 blok dengan masing-masing blok 48 tanaman sengon. Pertumbuhan tinggi dan diameter sengon pada tekstur tanah pasir berlempung cukup baik, yaitu 7,28 m / 9,48 cm pada umur 24 bulan dan pertumbuhan tinggi, jumlah cabang dan bobot segar nilam pada umur 3 bulan setelah pangkasan pada pola tanam monokultur yang masing-masing sebesar 64,32 cm dan 141,68 cabang serta 1,29 kg.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tekstur tanah pasir berlempung tetap memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan sengon dan nilam serta kedua jenis tanaman tersebut berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat dan rehabilitasi lahan terdegradasi (Sudomo, 2007).


Daftar Pustaka
Ali. 2007.  Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Arsyad. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press: Bogor
Bogidarmanti R, Nina Mindawati, Hani S. Nuroniah, A. Syaffari Kosasih, 2006. Pemilihan Jenis Pohon Potensial Untuk Konservasi Lahan Terdegradasi. Bogor.
Sudomo, Aris. 2007. Pengaruh Tanah Pasir Berlempung Terhadap Pertumbuhan Sengon Dan Nilam Pada Sistem Agroforesty. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 1 (2): 1-8
Suriadi, Ahmad., Hipi, Awaludin., dkk. 2003. Dinamika Lengas Tanah Dan Nitrat Pada Berbagai Fase Pertumbuhan Tanaman Pangan Di Tanah Entisols Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.