Pages

Sunday, June 19, 2011

Mamalia Kecil Vs Fungi


Hypogeous merupakan struktur fungi yang berada di dalam tanah. Hypogeous tersebut mengeluarkan suatu senyawa yang berbau harum dimana senyawa ini diindikasikan menjadi sinyal yang menarik mamalia kecil seperi tupai yang pada akhirnya menjadikan hypogeous sebagai salah satu sumber nutrisinya. Karena itulah spora yang ada di dalam sporokarp (hypogeous) dilapisi oleh jaringan tipis yang kaku yang disebut peridium dimana lapisan tersebut tidak dapat dicerna oleh tupai sehingga spora yang ada di dalamnya terlindungi. Peridium akan pecah dan mengalami degenerasi saat spora dikeluarkan dalam bentuk pellat feces oleh tupai atau mamalia kecil lainnya dan menemukan tumbuhan yang cocok sebagai hostnya. Sementara itu, tupai memiliki ingatan khusus untuk mengenali jenis makanannya salah satunya melalui aroma yang dikeluarkan oleh hypogeaus. Tupai tidak pernah memakan epigeous fungi (sporokarp yang ada di permukaan tanah) karena epigeous mengeluarkan bau busuk yang dihindari oleh tupai dimana hal tersebut merupakan adaptasi tersendiri bagi epigeous yang sporanya tidak dilindungi oleh peridium seperti spora hypogeous. Sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa ko - adaptasi terjadi antara mamalia kecil (tupai) serta hypogeous dan epigeous (Maser, 1978). 
Karena interaksi antara mamalia kecil dan fungi tak lepas dari interaksi fungi dengan tumbuhan tingkat tinggi, dimana daya hidup fungi bergantung pada tumbuhan tingkat tinggi tersebut maka jenis interaksinya adalah tripartite (Dell, 2002).
 
Karena itulah tipe koevolusinya disebut diffuse yaitu suatu seleksi yang terjadi secara timbal balik pada dua jenis organisme yang berinteraksi bergantung pada ada atau tidaknya spesies ‘ketiga’ (spesies lain). Maser (1988) menyatakan bahwa tupai memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem hutan pinus di Oregon. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa tanpa keberadaan tupai, spora-spora mikorhiza tidak dapat terdispersal ke seluruh bagian hutan. Hal tersebut dapat mengakibatkan beberapa individu pinus kekurangan suplai N dan P yang biasanya disediakan oleh mikorhiza dan karena sporanya tak tersebar, fungi tersebut tidak dapat menuntaskan siklus hidupnya. Sehingga di sini tupai dikatakan sebagai spesies ketiga yang mempengaruhi eksistensi fungi dan tumbuhan pinus.

Friday, June 17, 2011

Kompleksitas Habitat - Ant Predator

Habitat merupakan tempat tinggal berbagai jenis organisme hidup untuk melaksanakan aktivitasnya. Semakin kompleks suatu habitat, yang dalam hal ini adalah keanekaragaman tumbuhan, maka semakin tinggi keanekaragaman dan struktur jaring-jaring makanan pada habitat tersebut. Dimana semakin tinggi diversitas tumbuhannya, semakin tinggi keanekaragaman herbivorinya, dan semakin tinggi pula keanekaragaman predator sehingga aliran energi pada jaring-jaring makanan tidak mengalami gangguan (Moraal, 2011).
            Berkaca pada penjelasan di atas, fragmentasi habitat seperti intensifikasi pada sistem pertanian atau perkebunan dapat menyebabkan terganggunnya jaring-jaring trophik. Philpott & Armbrecht (2006) mengemukakan bahwa kompleksitas habitat dan interaksi antar semut-semut predator mengalami penurunan karena adanya intensifikasi perkebunan. Pemakaian pestisida sintetik pada perkebunan (kopi dan kakao) tersebut menyebabkan turunnya diversitas semut predator yang pada akhirnya meningkatkan populasi hama sehingga menurunkan produksi tanaman. Hal tersebut menunjukkan bahwa semut merupakan predator penting di ekosistem alami maupun sistem perkebunan. Hal ini dibuktikan pula oleh Philpott & Perfecto1 (2008) yang memaparkan bahwa tiga spesies semut (Azteca instabilis, Camponotus textor, dan Crematogaster sp.) memiliki kemampuan untuk menghilangkan larva herbivor (S.frugiperda) dari tanaman kopi (Coffea arabica) dibandingkan jenis predator lainnya.
Melalui penelitian lain, dijelaskan bahwa penghilangan semut predator tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap serangan hama Berry Borer dan hasil panen kopi. Hal tersebut diindikasikan bahwa terjadi predasi oleh predator lain dimana ketika semut dihilangkan, predator seperti burung, kadal, atau labah-labah meningkat dimana predator-predator tersebut juga memberikan efek negatif bagi hama Berry borer (Greenberg et.al, 2000 dalam Philpott & Perfecto2, 2008).
Sehingga dapat dikatakan bahwa semut predator berpengaruh pada level trophic dibawahnya, namun karena interaksi yang terjadi pada suatu habitat (baik alami maupun buatan) sangat kompleks maka keberadaan prey (hama/herbivori) sebagai level trophic terendah tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan semut tetapi juga predator-predator lainnya. Selain itu perlu diingat pula bahwa sebagai habitat, tumbuhan tidak hanya berkaitan dengan asosiasi yang terjadi di dalamnya tetapi juga berkaitan erat dengan faktor abiotik  seperti suhu, intensitas cahaya ataupun kelembaban dimana faktor – faktor abiotik tersebut turut mempengaruhi interaksi yang terjadi antara organismenya termasuk semut predator dan mangsanya (Philpott &Perfecto2, 2008).