Pages

Thursday, December 24, 2009

THE SHORE ENVIRONMENT

    Pertemuan antara laut dan daratan merupakan suatu area dengan keanekaragaman hayati yang menakjubkan. Area ini merupakan kawasan yang sempit sekali (hanya beberapa meter) yang masih dipengaruhi atau terletak di antara air tinggi dan air rendah . Wilayah yang lebih dikenal dengan istilah intertidal ini menurut Nybakken (1986) dikenal tidak hanya dari tingginya keanekaragaman hayati yang kesemuanya merupakan organisme asli laut tetapi juga memiliki variasi faktor lingkungan terbesar dibandingkan dengan daerah bahari lainnya.Masyarakat lebih mengenal area ini sebagai area Pasang Surut.
    Sejumlah besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, berbatu maupun berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik ( seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya.
    Pantai, terutama pantai berbatu berbeda dalam hal rata-rata ukuran partikel. Ukuran partikel dapat mencapai beberapa mikrometer pada pantai berlumpur, beberapa ratus mikrometer pada pantai berpasir, beberapa centimeter pada bentuk gravel dan puluhan meter pada batuan besar yang massive yang secara fungsional tidak jauh berbeda dengan karang yang terjal (Gambar 10). Ukuran rata-rata dari partikel merupakan refleksi akan pergerakkan air seperti aksi gelombang dan arus terutama pada daerah pantai terbuka, dan sebagiannya merupakan hasil dari proses evolusi secara geologi. Pasir halus hanya terakumulasi pada daerah pantai yang terlindung.
    Pada pantai berpasir yang terbuka (terekspose) dengan drainase yang baik dan partikel kwarsa (kerikil) serta memiliki asosiasi aktivitas bakteri yang terbatas ditambah kandungan oksigen yang baik memberikan penampakan orange keemasan dari pantai. Sebaliknya, pada pantai berlumpur yang terlindung menampakkan penampilan warna sedimen yang gelap dan bau yang tak sedap dari hidrogen sulphide sebagai akibat aktivitas bakteri dengan biomassa yang besar dan air yang terperangkap di sedimen serta beban bahan organik yang tinggi dalam suasana anaerobik.
    Komunitas pada pantai berbatu relatif lebih sederhana dan tersusun oleh spesies yang mudah diidentifikasi serta kelimpahannya yang dapat di duga. Pola distribusi dapat dengan mudah digambarkan. Sebagian besar organisme berkompetisi untuk memperoleh sumberdaya yang telah ditetapkan, ruang. Yang paling penting adalah bahwa pantai relatif mudah untuk di manipulasi melalui eksperimen karena kepemilikan dua dimensi kealamiahannya dan cepatnya pembalikkan dari komponen-komponen yang dominan. Sebaliknya, gradien terestrial yang digambarkan diatas pada beberapa skala memiliki jarak puluhan atau ratusan kilometer.
Pasang Surut.
    Meskipun pasang surut bukanlah penyebab utama dari zonasi, namun fenomena ini merupakan faktor fisik lingkungan yang dominan terjadi pada banyak pantai. Pengaruh dari pasang surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan berkembangnya komunitas yang khas untuk masing-masing zona di aderah pantai yang terkena ritme pasang surut (Peterson, 1991 dalam Wimbaningrum, 2002). Pasang surut dihasilkan oleh kombinasi gaya yang ditimbulkan akibat rotasi bumi dan sistem bulan dan gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi. Gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan memiliki sudut dan arah yang sama pada setiap titik pada permukaan bumi , akan tetapi gaya gravitasi yang ditimbulkan oleh bulan bervariasi dalam sudut dan arahnya akibat perubahan posisi relatif bulan terhadap bumi.
Gradien Salinitas Laut – Tawar (The Marine-Freshwater Gradient of Salinity)
    Salinitas air laut sekitar 35 ‰, tetapi di daerah pesisir salinitas biasanya berkurang seiring dengan keberadaan masukan air tawar. Pada daerah dimana pengaruh air tawar sangat signifikan, gradien salinitas berubah dari salinitas kondisi air laut ke salinitas kondisi air tawar (salinitas lebih rendah di banding salinitas air laut). Kondisi seperti ini paling sering terlihat di daerah estuari. Hanya spesies laut yang mampu mentoleransi terhadap salinitas yang lebih rendah dan selalu berfluktuasi yang dapat memanfaatkan atau bertahan di daerah salinitas rendah dari gradien ini. Kekayaan spesies rendah, tetapi populasi dari spesies yang menghuni daerah tersebut memiliki kepadatan dan biomass yang sangat tinggi. Hanya sedikit spesies air tawar yang dapat bertahan pada daerah yang salinitasnya lebih tinggi dari gradien ini, 
biasanya spesies air tawar terkonsentrasi hanya daerah yang terbatas hingga bagian atas (menuju ke hulu).
    Pada pantai berpasir, aliran air sangat cepat sehingga pada daerah ini kesempatan air untuk tersimpan (standing water) sangat kecil untuk mengalami evaporasi maupun terencerkan oleh hujan. Sebaliknya di daerah pantai berlumpur biasanya mampu menahan atau menyimpan air sehingga jika terjadi hujan lebat atau evaporasi di saat pasang rendah maka perubahan salinitas akan terjadi.
    Interaksi antara ukuran partikel dan paparan atau hempasan gelombang sangat mungkin terjadi dan interaksi tersebut meripakan proses yang sangat penting dalam proses pembentukan karakteristik biologi pantai. Pantai dengan ukuran partikel substrat yang besar (pantai berbatu), organisme yang ditemukan biasanya kecil, ukurannya relatif dengan ukuran partikel, organisme tersebut mampu bertahan pada permukaan batu. Organisme pantai berbatu berada di sepanjang gradien yang terpapar atau terkena hempasan gelombang. Pada pantai berbatu spesies yang berbeda memiliki adapatasi yang berbeda terhadap perubahan sudut gelombang dan intensitas interaksi biologi akan bervariasi sepanjang gradien ini.
    Pada akhirnya ukuran partikel substrat baik itu pada pantai berpasir maupun pantai berlumpur menunjukkan bahwa sebagian besar spesies yang berasosiasi di sana berukuran lebih besar dibanding ukuran rata-rata partikel. Organisme yang hidup di bawah permukaan substrat dengan menekan partikel substrat ke dalam atau dengan membuat jalan tabung (lubang) dalam bentuk permanen atau setengah permanen pada sedimen. Organisme tersebut dikenal dengan istilah infauna. Hanya pada pantai yang benar-benar terlindung dimana pengaruh pergerakkan air terlalu lemah secara signifikan memperlihatkan bahwa organisme tersebut (infauna) mengganggu sedimen dengan cara memperbesar ruang hidup bagi tumbuhan dan hewan yang ada. Beberapa metazoa (organisme multiselluler) yang cukup kecil dan terdapat atau mampu hidup pada ruang-ruang atau celah-celah antara partikel dikenal dengan interstitial meiofauna.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
  • Castro, P and M. E Huber. 2003. Marine Biology. 4th ed. McGraw – Hill. Boston-USA. 468p

  • Nybakken, J. W. 1986. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. M. Eidman, Koesoebiono, Dietrich G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo (Alih Bahasa). 2nd ed. PT. Gramedia. Jakarta.

  • Mann, K. H. 2000. Ecology of Coastal Waters : With Implications for Management. _2nd ed. Balckwell Science. United Kingdom.

  • Walcott, T. G. 1973. Physiological Ecology and Intertidal Zonation Limpets (ACMAEA) : A Critical Look at ” Limiting Factors”. J. Biol. Bull. 145 : 389 – 422.

  • Westernburn, M and S. Jattu. 2006. Effects of Wave Exposure on Sublitoral Distribution of Blue Mussel Mytillus edulis in a Heteregenous Archipelago. J. Marine Ecology Progress Series. 306 : 191 – 200.


Friday, December 18, 2009

Sea Grass (LAMUN)


    Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.
    Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.


    Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem).Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.
    Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 52 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Potamogetonaceae.
    Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu :
  1. Produsen detritus dan zat hara.
  2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang.
  3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.
  4. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari

    Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan ekosistem padang lamun adalah :

A. Kecerahan
  • Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun.
  • Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa tersebut dan jika suatu perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas pembangunan sehingga meningkatkan sedimentasi pada badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas maka akan berdampak buruk terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini secara luas akan mengganggu produktivitas primer ekosistem lamun.
B.Temperatur
  • Secara umum ekosistem padang lamun ditemukan secara luas di daerah bersuhu dingin dan di tropis. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan temparatur.
  • Kondisi ini tidak selamanya benar jika kita hanya memfokuskan terhadap lamun di daerah tropis karena kisaran lamun dapat tumbuh optimal hanya pada temperatur 28-300C. Hal ini berkaitan dengan kemampuan proses fotosintesis yang akan menurun jika temperatur berada di luar kisaran tersebut.
C.Salinitas
  • Kisaran salinitas yang dapat ditolerir lamun adalah 10-40‰ dan nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis.
  • Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar.
  • Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang.
  • Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup.
  • Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien.
  • Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas.
D.Substrat
  • Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang.
  • Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup.
  • Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien.
 Daftar Pustaka
  • Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Calumpong. 1983. Sea Grass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press, Washington.
  •  Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp.147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York.
  • Hartog, C.den.1970. Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam

Tuesday, December 15, 2009

Sekilas Mengenai Tipe Biji


Berdasarkan responnya terhadap perubahan kadar air biji tanaman digolongkan ke dalam tiga kelompok:

 1. Biji tipe Rekalsitran
Biji tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain hanya mampu hidup dalam kadar air tinggi (36-90 %).  Penurunan kadar air bada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian, sehingga biji tipe ini tidak bisa disimpan dalam kadar air rendah. Contoh biji tipe ini adalah: Arthrocarpus integra (nangka), Durio zibethinus (durian), Theobroma cacao( kakao) dan lain-lain.

 2. Biji tipe Ortodoks
Biji kelompok ortodoks dicirikan oleh sifatnya yang bisa dikeringkan tanpa menglami kerusakan. Viabilitas biji ortodoks tidak mengalami penurunan yang berarti dengan penurunan kadar air hingga di bawah 20%, sehingga biji tipe ini bisa disimpan dalam kadar air yang rendah. Contoh biji kelompok ini adalah: Glysine max (kedelai), Vitis vinifera (anggur), Oryza sativa ( padi), Capsicum annum (cabe), dan biji serealia lainnya

 3.Biji tipe Intermediet
Biji kelompok intermediet memiliki sifat peralihan dari kedua tipe di atas. Biji tipe intermediet masih mampu bertahan hidup bila kadar airnya diturunkan hingga pada batas tertentu di atas kadar air biji ortodok. Contohnyabiji kelompok ini adalah: Citrus limon (jeruk lemon), Coffea arabica ( kopi arabika)



Saturday, December 12, 2009

Coral Life Form

Coral atau terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang melaksanakan metode standar pengambilan data life form karang dan organisme penyusun terumbu karang. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengetahui dan dapat membedakan life form karang, menjelaskan factor-faktor fisik lingkungan yang menyebabkan pembentukan life form karang. Dilakukan pula identifikasi makro dan megafauna bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang serta menganalisis korelasi antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan dan diversitas fauna asosiasi. Percobaan ini dilakukan pada tanggal 5 Desember 2009 di pantai Pasir Putih Situbondo, pukul 16.00 WIB. Langkah awal yang dilakukan adalah mengukur parameter fisik berupa suhu, salinitas, dan koordinat pantai tempat pengamatan. Dari pengukuran yang telah dilakukan didapatkan data dimana suhu mencapai 34° C dengan salinitas sebesar 35 ٪.  . Angka salinitas tersebut menandakan bahwa dalam 1000 mg air laut terkandung 35 gr garam (Nybakken, 1989).
Menurut Romimohtarto (2001), tipe-tipe karang dapat diklasifikasikan berdasarkan penembusan cahaya matahari ke dasar laut. Pada kedalaman 10 m biasanya didominasi oleh karang bercabang (branching) dan disebut sebagai mintakat merah. Maksud dari mintakat merah disini adalah gelombang cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman 10 m adalah semua gelombang cahaya, dari yang terendah hingga yang terpanjang. Seperti diketahui bahwa gelombang terpanjang cahaya matahari adalah gelombang merah dengan panjang gelombang di atas 700 nm (Dwidjoseputro, 1989). Setelah mintakat merah terdapat mintakat kuning dengan kedalaman 10 m. Daerah ini didominasi oleh karang massif dan bercabang. Zona selanjutnya disebut mintakat hijau yang didominasi oleh karang daun. Daerah ini merupakan tempat dimana panjang gelombang cahaya fotosintesis dapat diserap maksimal oleh biota laut. Meskipun tumbuhan tidak menggunakan cahaya secara langsung sebagaimana tumbuhan memanfaatkannya untuk fotosintesis, tetapi hewan tetap membutuhkan intensitas cahaya maksimal untuk kelangsungan hidupnya terutama untuk menjaga stabilitas suhu tubuhnya. Selanjutnya terdapat mintakat biru yaitu pada kedalaman 60 m dengan kategori life form karang daun dan kerak. Pada zona ini sangat jarang ditemukan  kehidupan terumbu karang karena intensitas cahaya terbilang rendah. Zona terakhir dan merupakan zona terdalam adalah mintakat afotik. Zona afotik ini merupakan zona yang benar-benar tidak dapat ditembus oleh gelombang cahaya matahari sehingga nyaris tidak ada kehidupan di dalamnya. Jika dilihat dari hasil praktikum maka dapat dikatakan bahwa pengamatan dilakukan pada mintakat kuning dimana ditemukan karang massif dan bercabang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi coral life form ini meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik pada umumnya berhubungan dengan kondisi alam. Cahaya jelas menjadi salah satu faktor utama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa cahaya digunakan untuk proses fotosintesis bagi tumbuhan (biota laut) serta sebagai sumber energi panas bagi hewan. Karena itulah dapat dikatakan bahwa semakin tinggi intensitas cahaya yang mampu menembus kedalaman laut maka semakin tinggi organismenya dengan catatan intensitas intensitas cahaya tersebut masih berada pada batas maksimal kebutuhan organisme karena tidak menutup kemungkinan intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian suatu organism yang dalam hal ini adalah terumbu karang. Selain intensitas cahaya, kehidupan terumbu karang bergantung pula pada pasang surut air laut. Sebenarnya pasang surung inilah yang merupakan faktor pembatas utama bagi kehidupan terumbu karang. Pasang surut merupakan salah satu gejala yang memiliki gejala dengan pengaruh terbesar bagi biota di wilayah pantai. Hal tersebut dikarenakan keadaan pasang surut menyebabkan terjadinya fluktuasi perubahan suhu serta intensitas cahaya. Apabila terjadi pasang, terutama pasang tertinggi, maka seluruh biota laut hingga tepi pantai terendam air sehingga mereka tidak memiliki kontak langsung dengan matahari. Akan tetapi, ketika terjadi surut tertinggi kawasan yang tadinya terendam oleh air laut bisa jadi terpapar langsung oleh cahaya matahari sehingga organisme atau biota yang ada di kawasan tersebut membutuhkan suatu mekanisme adaptasi untuk mempertahankan dirinya. Jika proses adaptasi tadi tidak berhasil dilakukan maka dapat dipastikan bahwa biota tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya. Hal ini dapat pula terjadi pada coral life form dimana perubahan suhu yang berlangsung secara terus menerus dapat mengakibatkan perubahan mekanisme fisiologis yang lama-kelamaan akan menggangu kehidupan terumbu karang tersebut (Nybakken, 1994).
Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di  93 negara.  Gambar 4.3 memperlihatkan peta lokasi sebaran ekosistem terumbu karang di seluruh dunia (Veron, 1986).

DAFTAR PUSTAKA

Nybakken, J.W. 1994. Marine Biology : An Ecologycal Approach. PT Gramedia. Jakarta.
Romimohtarto. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan : Jakarta
Veron. J.E.N. 1986. Coral of Australia and The Indofasific. Angus & Robertos :Australia.




Monday, December 07, 2009

Perkecambahan Dan Viabilitas biji

Perkecambahan adalah tahap awal dari perumbuhan tanaman. Secara teori, perkecambahan adalah keluarnya radikula dan bagian-bagian lain dari embrio biji untuk membentuk tumbuhan muda yang selanjutnya berkembang menjadi tumbuhan dewasa.
Perkecambahan diawali dengan proses masuknya air ke dalam biji sehingga embrio dan koloid-koloid tercuci (terbilas). Masuknya air ini melunturkan hormon ABA yang memiliki peranan pada saat dormansi biji. Sementara itu, ketika kadar ABA berkurang, kadar auksin akan meningkat diikuti pula dengan meningkatnya kadar giberelin dan sitokinin. Ketiga hormon tersebut bersama-sama akan melakukan proses pertumbuhan akar (radicula), batang (cauliculus), dan daun kecambah (kotiledon).
Tahapan awal pertumbuhan pada kecambah sendiri terdiri atas dua tipe. Yang pertama adalah perkecambahan epigeal dimana perkecambahan terjadi di atas permukaan media tanam (tanah). Hal tersebut dikarenakan cauliculus (ruas batang/calon batang) membentang di bawah kotiledon, tipe ruas batang ini disebut hypokotil.

Tipe yang kedua adalah hypogeal dimana perkecambahan terjadi di bawah tanah karena ruas batang membentang di atas kotiledon. Ruas batang yang demikian disebut epikotil.
Pada umumnya, perkecambahan epigeal terjadi pada tumbuhan dikotil (berkeping dua) sedangkan tipe hypogeal terjadi pada tumbuhan monokotil.

Saturday, November 28, 2009

Hormon Pengatur Pertumbuhan

Dari berbagai jenis fitohormon, ada lima hormon yang paling dikenal dan berpengaruh pada proses fisiologis tumbuhan. Hormon-hormon tersebut meliputi Auksin, Sitokinin, Giberelin, Asam Absisat, dan Gas Etilen. Auksin , Sitokinin, dan Giberelin berperan penting pada proses perkembangan dan Pertumbuhan tanaman; sedangkan asam Absisat dan Gas Etilen berpengaruh pada saat tanaman memasuki tahap sence (penuaan).

Berikut ini adalah penjelasan singkat (rangkuman) mengenai hormn yang berperan pada tahap pertumbuhan tanaman.
  1. Auksin . Berperan penting pada proses perkecambahan dan pertumbuhan tunas apikal. Karena itulah auksin lebih sering dikenal sebagai hormon dominansi apikal. Kerja auksin menghambat pertumbuhan tunas-tunas lateral sehingga batang hanya tumbuh secara vertikal tanpa adanya percabangan. Selain tunas batang, auksin berperan pula memperpanjang akar tanaman dimana hal ini sangat berperan pada proses penyerapan air oleh akar. Hal tersebut dikarenakan semakain panjang akar maka semakin dalam pemantakan akar ke dalam tanah dengan demikian semakin banyak air yang dapat diserap oleh akar. Informasi lainnya adalah auksin bekerja optimum pada intensitas cahaya rendah karena itulah mengapa pada setiap percobaan yang berhubungan dengan proses perkecambahan, objek pengamatan selalu diletakkan di tempat gelap.
  2. Sitokinin. Hormon ini berasal dari kata sitokinesis yang artinya adalah pembelahan. Berdasarkan hal tersebut maka sitokin berperan pada proses pembelahan sel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sitokinin perperan penting pada proses pembentukan tunas dan akar. Sitokinin dan Auksin akan bekerja bersama-sama dalam proses pembesaran dan diferensiasi sel, tetapi keduanya berlawanan dalam hal pembentukan tunas. Jika auksin bekerja secara vertikal pada pembentukan tunas maka sitokinin bekerja secara horisontal dimana karena sitokinin inilah terdapat percabangan pada batang tumbuhan.
  3. Giberelin. Sangat berfungsi pada pencegahan kekerdilan pada tanaman. Fungsi dari giberelin meliputi :
  • menyebabkan tanaman berbunga sebelum waktunya
  • menghasilkan buah tanpa adanya proses penyerbukan dan buah tanpa biji
  • tinggi tanaman bisa melebihi tinggi normalnya (5 kali dari tinggi normal)
  • menyebabkan bji dan tunas cepat tumbuh

Fitohormon & ZPT

Jika ditanya apa itu fitohormon maka dapat dijawab fitohormon merupakan gabungan dari dua kata; yaitu fito dan Hormon. Fito itu sama dengan tumbuhan sedangkan Hormon ya... hormon, zat yang mengatur segala proses fisiologis tubuh; baik pada hewan/manusia maupun pada tumbuhan. Namun, hormon pada tumbuhan memiliki perbedaan dengan hormon pada hewan. Hormon pada hewan bekerja dengan target yang jelas, sedangkan hormon pada tumbuhan tidak memiliki target dan kerja yang benar-benar spesifik. Karena antara hormon yang satu dengan yang lain berkorelasi dalam menjalankan fungsinya. Bahkan terkadang ada sifat antagonisme pada hormon tumbuhan dimana kerja hormon yang satu menghambat kerja hormon yang lain.
So, Fitohormon adalah hormon pada tumbuh-tumbuhan; zat yang mengatur segala proses fisiologis, petumbuhan dan perkembangan, pada tumbuhan. Namun, hormon hanyalah suatu zat yang kerjanya dikontrol oleh gen karena pada dasarnya semua sistem kerja makhluk hidup, baik hewan/manusia atau tumbuhan, diatur sepenuhnya oleh gen. Lalu, apa yang dimaksud dengan ZPT??
Fitohormon dan ZPT itu sama. ZPT atau zat pengatur tumbuh merupakan zat atau senyawa yang berfungsi mengatur segala proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Perbedaannya dengan Hormon hanyalah proses pembuatannya. Jika hormon disintesis sendiri oleh tumbuhan, ZPT dibuat oleh manusia. Meskipun buatan tangan manusia, kerja ZPT tidaklah kalah dari kerja Hormon yang diproduksi oleh tumbuhan. Pembuatan ZPT sendiri didasari pada semakin majunya dunia penelitian di seluruh dunia, terutama pada bidang Botani (Kultur Jaringan), yang membutuhkan hormon sebagai salah satu bahannya. Namun, karena harga hormon terlalu mahal untuk dijadikan bahan penelitian yang sangat jarang berhasil pada sekali percobaan maka dibuatlah ZPT sebagai bahan alternatifnya. Lebih murah dengan hasil yang sama.
Conclusion : ZPT =Fitohormon

Monday, November 23, 2009

Transpiration In my Mind

Transpirasi ialah satu proses kehilangan air dari tumbuh-tumbuhan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Air diserap dari akar rerambut tumbuhan dan air itu kemudian diangkut melalui xilem ke semua bahagian tumbuhan khususnya daun. Bukan semua air digunakan dalam proses fotosintesis. Air yang berlebihan akan disingkirkan melalui proses transpirasi. Jika kadar kehilangan air melalui transpirasi melebihi kadar pengambilan air tumbuhan tersebut, pertumbuhan pokok akan terhalang. Akibat itu, mereka yang mengusahakan pernanaman secara besar – besaran mungkin mengalami kerugian yang tinggi sekira mengabaikan faktor kadar transpirasi tumbuh – tumbuhan (Devlin, 1983).

Ketika air menguap dari sel mesofil, maka cairan dalam sel mesofil akan menjadi semakin jenuh. Sel-sel ini akan menarik air melalu osmosis dari sel-sel yang berada lebih dalam di daun. Sel-sel ini pada akhirnya akan menarik air yang diperlukan dari jaringan xylem yang merupakan kolom berkelanjutan dari akar ke daun. Oleh karena itu, air kemudian dapat terus dibawa dari akar ke daun melawan arah gaya gravitasi, sehingga proses ini terus menerus berlanjut. Proses penguapan air dari sel mesofil daun biasa kita sebut dengan proses transpirasi. Oleh itu, pengambilan air dengan cara ini biasa kita sebut dengan proses tarikan transpirasi dan selama akar terus menerus menyerap air dari dalam tanah dan transpirasi terus terjadi, air akan terus dapat diangkut ke bagian atas sebuah tanaman Proses transpirasi ini selain mengakibatkan penarikan air melawan gaya gravitasi bumi, juga dapat mendinginkan tanaman yang terus menerus berada di bawah sinar matahari. Mereka tidak akan mudah mati karena terbakar oleh teriknya panas matahari karena melalui proses transpirasi, terjadi penguapan air dan penguapan akan membantu menurunkan suhu tanaman. Selain itu, melalui proses transpirasi, tanaman juga akan terus mendapatkan air yang cukup untuk melakukan fotosintesis agar keberlangsungan hidup tanaman dapat terus terjamin.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi transpirasi :
1.) Radiasi matahari. Dari radiasi matahari yang diserap oleh daun, 1-5% digunakan untuk fotosintesis dan 75-85% digunakan untuk memanaskan daun dan untuk transpirasi.
2.)Temperatur. Peningkatan temperatur meningkatkan kapasitas udara untuk menyimpan air, yang berarti tuntutan atmosfer yang lebih besar.
3.) Kelembaban relatif. Makin besar kandungan air di udara, makin tinggi tekanan udara, yang berarti tuntutan atmosfer menurun dengan meningkatnya kelembapan relatif.
4.) Angin. Transpirasi terjadi apabila air berdifusi melalui stomata. Apabila aliran udara (angin) menghembus udara lembab di permukaan daun, perbedaan potensial air di dalam dan tepat di luar lubang stomata akan meningkat dan difusi bersih air dari daun juga meningkat
(Gardner, et.al., 1991 )
Faktor-faktor tanaman yang mempengaruhi transpirasi :
1.) Penutupan stomata. Sebagian besar transpirasi terjadi melalui stomata karena kutikula secara relatif tidak tembus air, dan hanya sedikit transpirasi yang terjadi apabila stomata tertutup. Jika stomata terbuka lebih lebar, lebih banyak pula kehilangan air tetapi peningkatan kehilangan air ini lebih sedikit untuk mesing-mesing satuan penambahan lebar stomata Faktor utama yang mempengaruhi pembukaan dan penutupan stomata dalam kondisi lapangan ialah tingkat cahaya dan kelembapan.
2.) Jumlah dan ukuran stomata. Jumlah dan ukuran stomata, dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih sedikit terhadap transpirasi total daripada pembukaan dan penutupan stomata
3.) Jumlah daun. Makin luas daerah permukaan daun, makin besar transpirasi.
4.) Penggulungan atau pelipatan daun. Banyak tanaman mempunyai mekanisme dalam daun yang menguntungkanpengurangan transpirasi apabila persediaan air terbatas.
5.) Kedalaman dan proliferasi akar. Ketersedian dan pengambilan kelembapan tanah oleh tanaman budidaya sangat tergantung pada kedalaman dan proliferasi akar. Perakaran yang lebih dalam meningkatkan ketersediaan air, dari proliferasi akar (akar per satuan volume tanah ) meningkatkan pengambilan air dari suatu satuan volume tanah sebelum terjadi pelayuan permanen
(Gardner, et.al., 1991 )

Wednesday, November 04, 2009

Intoduction_Tissue Culture

KONSEP DASAR KulTur Jaringan
A. Pembiakangeneratif : Perpaduan gamet jantan dan betina dari tanaman induk >Mencari sifat unggul
B. PembiakanVegetatif: Menggunakan bagian vegetatif tanaman induk. Pembiakan Vegetatif terbagi atas : -vegetatif alami ; meliputi : Tunas akar, tunas batang, daun, Umbi batang(tuber), umbi akar(tuberous root)  -vegetatif buatan : stek, okulasi

Tanaman hasil pembiakan vegetatif = KLON

Syarat Kultur JAringan
1. Skala mikro > berukuran mikroskopis
2. Kondisi lingkungan yang optimal
3. Aseptik dan steril dari semua mikroba, fungi dan semua patogen mikro
4. Bahan tanam bersifat totipoten

KLASIFIKASI  KULTUR JARINGAN BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN :
A. Kultur Jaringan dengan Material Vegetatif
  • kultur meristem
  • kultur protoplas
  • kultur tunas adventif
  • kultur sel
  • kultur kalus 
B. Kultur Jaringan dengan Material Generatif
  • kultur biji
  • kultur antera
  • kultur ovul (bakal biji)
Manfaat Kultur Jaringan
  1. Melestarikan sifat bibit unggul tanaman
  2. Menghasilkan tanaman yang bersifat seragam
  3. Melestarikan spesies tanaman yang terancam punah
  4. Menghasilkan tanaman yang bebas dari patogen
  5. Mempercepat budidaya tanaman sehingga meningkatkan produksi pangan 



Semua sel Berasal dari sel yang ada, karena itulah sangat mungkin suatu tumbuhan tumbuh dari jaringan tumbuhan terdahulunya.

Colour Blind

Buta warna
·         Yaitu penyakit kelainan  pada mata yang ditentukan oleh gen resesif pada kromosom sex, khususnya  terpaut pada kromosom X.
·         Penyakit ini lebih banyak diderita oleh wanita yang memiliki kemungkinan terbesar, karena memiliki 2 buah kromosom X., bila dibandingkan dengan pria.
·         Untuk carrier hanya wanita yang memilki karena wanita memilki 2 buah kromosom X sedangkan pria langsung terkena penyakit dan tidak ada carrier.
·         Buta warna dibedan 2 yaitu :
§         Buta warna parsial yaitu buta warna yang  tidak dapat membedakan warna-warna tertentu. Terutama warna-warna yangdapat diserap oleh sel conus yaitu merah, biru atau hiijau.
§         Buta warna total yaitu buta warna yang tidak dapat membedakan semua warna sehingga hanya terlihat warna gelap (hitam) dan warna terang (putih).
·         Disimbolkan dengan gen :
§         CC          = untuk sifat normal
§         Cc           = untuk sifat normal heterozygote/carrier buta warna. Biasanya hanya
                  ditulis dengan c (alel yang resesif).
§         cc           = untuk sifat buta warna
·         Sehingga bila dikaitkkan dengan kromosom X adalah :
§         X X          = untuk wanita normal (dapat ditulis atau tidak  lambang gennya)
§         X Xc        = untuk wanita sifat carrier buta warna
§         Xc Xc       = untuk wanita buta warna (penderita)
§         X Y          = untuk sifat pria normal
§         Xc Y         = untuk sifat pria buta warna (penderita)
·         Contoh persilangan :
Seorang pria dengan sifat normal menikah dengan wanita  normal hetrozygot buta warna. Tentukanlah kemungkinan keturunan yang dihasilkan dan berapa % anak yang mempunyai sifat seperti ibunya ?

Diketahui               :  Pria normal                                        = X Y
                                   Wanita carrier buta warna              = X  Xc

Ditanya                  : 1. Kemungkinan keturunan yang dihasilkan ?
  2.Berapa % anak yang membawa  gen sifat sama dengan ibunya ?

                              Jawab                    : P           = ♂ X Y                  X                             ♀ X Xc
                                                                              (Pria normal)                                        (wanita carrier buta warna)

                                                              G             =              X , Y                        ;                               X, Xc

                                                                F1           =
♂ \ ♀
X
Xc
X
X X      1
X Xc     2
Y
X Y     3
Xc Y     4
                                                               
                                                                RG          =              X X          :               X Xc        :               X Y          :               Xc Y
                                                                                                1              :               1              :               1              :               1
               
                                                                RF          = Anak wanita normal : anak wanita  carrier buta warna :
                                                                                                                1                      :                       1
                                                                                   anak pria normal : anak pria buta warna
                                                                                                1                    :                         1                                                             

                                                                % anak yang pembawa sifat sama dengan ibunya (carrier buta warna )
                                                                = 1/4  X 100 = 25  %

v      Jadi anak yang dihasilkan dari perkawianan tersebut adalah 1 anak wanita normal, 1  anak wanita  carrier buta warna,  1  anak pria normal dan 1 anak pria buta warna.
v      Anak denga sifat sama dengan ibunya (carrier buta warna)  = 25 %.

Media Kultur JAringan

KOMPONEN DASAR MEDIA KULJAR :
1.Elemen Esensial
2.SuplemenOrganik
3.SumberKarbon

ElemenEsensial:
-Makronutrien
-Mikronutrien

Bahan Pemadat :
1.PenambahanArangaktif
2.Mengadsorbsisenyawatoksik
3.Memicuinisiaridanpertumbuhanakar---mengurangiintensitascahaya
4.MengadsorbsiZPT : mencegahpertumbuhankalus
5.Kandunganagar : Ca, Mg, K, P

AlaternativeGelling Agents :
a. K-carrogenan
b. Gelatin
c. Alginans:ekstrakalga cokelat
d. MiscellagenousGelsBahanPemadat

IMITASI PERBANDINGAN GENETIS

1.Hukum Mendel
Perbedaan fenotip dari keturunan yang diperoleh atau diperkirakan akan diperoleh pada percobaan persilangan adalah hasil dari persatuan gamet tetua jantan dan betina yang berlangsung secara acak pada waktu terjadi pembuahan o0leh sperma pada sel telur. Menurut Mendel, persilangan atau pembentukan hibrid, mengikuti kaidah (3+!)n untuk sifat kedominanan penuh, dan {(1+2)+1}n untuk sifat kedominanan tak penuh. Pada rumus untuk sifat kedominanan penuh, angka 3 menunjukkan angka nisbah fenotipeyang sama pada homozigot dominan dan heterozigot (=hibrid) sedangkan angka 1 menunjukkan angka nisbah fenotipe homozigot resesif. Pada rumus untuk sifat kedominanan sebagian, angka nisbah 3 tersebut memecah (=bersegregasi) menjadi (1+2) yaitu 1 menunjukkan angka nisbah fenotipe homozigot dominan dan 2 menunjukkan angka nisbah fenotipe heterozigot. Untuk kedua rumus tersebut bilangan eksponensial n menunjukkan banyaknya sifat beda yang dikendalikan secara genetik.
Contoh 1: Kacang kapri (Pisum sativum) berbeda genetik untuk warna biji. Kuning merupakan warna biji dominan sedangkan hijau warna biji resesif. Berdasarkan warna resesif gen tersebut diberi nama g (dari kata green) sehingga fenotipe biji hijau mempunyai genotipe gg, sedangkan fenotipe biji kuning GG dan Gg. Nisbah fenotipe biji kuning : biji hijau dengan demikian adalah (3+1)n yaitu 3 : 1 (n=1, persilangan monohibrid untuk warna biji). Tetapi untuk bunga `pukul 4 sore` (Mirabilis jalapa) warna merah diatur oleh gen berkedominanan tidak penuh. Bila fenotip resesif adalah bunga berwarna putih (genotipe ww, dari kata white), maka segregasi menghasilkan {(1+2)+ 1}n yaitu 1 bunga warna merah : 2 bunag merah muda : 1 bunag putih. Warna merah muda merupakan fenotipe heterozigot. Jelaslah terjadi perbedaan nisbah fenotipe pada kedua sifat kedominanan tersebut, karena munculnya sifat heterozigot (=hibrid) pada kedominanan sebagian. Pada kedominanan penuh sukar menduga genotipe heterozigot dari fenotipenya. Pada contoh warna biji kacang kapri, fenotipe biji warna kuning akan selalu menimbulkan pertanyaan apakah biji tersebut dari genotipe homozigot dominan GG ataukah dari genotipe heterozigot Gg. Sebaliknya pada kedominanan sebagian, seperti pada contoh warna bunga `pukul 4 sore`, selalu dapat ditetapkan bahwa fenotipe bunag merah adalah dari genotipe WW, bunga merah muda dari genotipe Ww, dan bunga putih dari genotipe ww.
Contoh 2: Bagaimana bila kita memasukkan sifat kedua kacang kapri, yaitu bentuk biji bulat (dominan, genotipe WW) dan keriput (resesif, genotipe ww dari wrinkle). Karena pada kapri kedua sifat tersebut diatur oleh gen berkedominanan penuh, maka berlaku rumus dihibrid (n=2, untuk sifat warna biji dan bentuk biji) yaitu (3+1)2 = 32 + 2 (3) + 1 yang terkenal dengan nisbah fenotipe 9:3:3:1. Nisbah ini diuraikan sebagai 9 (sifat I dominan, sifat II dominan) : 3 (I dominan, II resesif) : 3 (I resesif, II dominan) : 1 (I resesif, II resesif). Pada kedua sifat biji kapri tersebut, nisbah tersebut menjadi 9 kuning, bulat : 3 kuning, keriput : 3 hijau, bulat : 1 hijau, keriput. Dengan tiga sifat berbeda dominan penuh, untuk tipe batang menjalar (dominan, genotipe DD) dan tipe semak (resesif, genotipe dd dari dwarf) yaitu (3+1)n nisbah tersebut menjadi 33 + 3(3)2 + 3(3) + 1 jadi nisbah fenotipenya 27:9:9:9:3:3:3:1 yaitu, 27 (sifat I,II,II dominan) : 9 (I dan II dominan, III resesif) : 9 (I dan III dominan, II resesif) : 9 (II dan III dominan, I resesif) : 3 (I dominan, II dan III resesif) : 3 (II dominan, I dan III resesif) : 3 (III dominan, I dan II resesif) : 1 (I, II dan III resesif).
Seandainya kedua sifat beda tersebut dikendalikan oleh gen berkedominanan sebagian, nisbah fenotipe akan mengikuti rumus {(1+2)+1}n = 1:2:1:2:4:2:1:2:1 yaitu 1 (I dan II dominan) : 2 (I dominan, II heterozigot) : 1 (I dominan, II resesif) : 2 (II dominan, I heterozigot) : 4 (I heterozigot, II heterozigot) : 2 (I heterozigot, II resesif) : 1 (I resesif, II dominan) : 2 (I resesif, II heterozigot) : 1 (I dan II resesif). Kembali terlihat bahwa terjadi perbedaan nisbah fenotipe antara pengendalian gen berkedominanan penuh dan berkedominanan sebagian, karena terekspresinya fenotipe heterozigot pada kedominanan sebagian. Ekspresi fenotipe heterozigot tersebut menghilangkan keragu-raguan dalam menentukan kombinasi gen (=genotipe) yang terdapat pada suatu individu. Ekspresi dominan menunjukkan individu genotipe homozigot dominan, ekspresi heterozigot menunjukkan individu genotipe heterozigot, dan ekspresi resesif menunjukkan individu genotipe homozigot resesif. Dikatakan bahwa pada gen berkedominanan tidak penuh, nisbah fenotipe = nisbah genotipe.


2. Analisis χ2
Uji χ2 (chi-square) merupakan alat bantu untuk menentukan seberapa baik kesesuaian suatu percobaan (goodness of fit). Pada uji ini penyimpangan nisbah amatan (observed) dari nisbah harapan (expected) dengan rumus
χ2 = Σ (O – E)2 ⁄ E

χ2 = (O1 – E1) ⁄ E1 + (O2 – E2) ⁄ E2 + .......... + (On – En) ⁄ En

Nilai χ2 diinterpretasikan sebagai peluang dengan mencocokkannya ke tabel χ2 berdasarkan derajat bebasnya. Derajat bebas (db) adalah banyaknya fenotip yang dapat diekspresikan (n) dikurangi satu. Pada satu sifat beda berkedominanan penuh terdapat dua fenotip dan db = n-1 = 2-1 = 1. Pada dua sifat beda berkedominanan sebagian, db = 9-1 = 8.
Contoh: Berdasarkan persilangan dihibrid kapri berbiji bulat, kuning x kapri berbiji keriput hijau. Mendel mengamati 315 biji bulat, kuning : 108 biji bulat, hijau : 101 biji keriput, kuning : 32 biji keriput, hijau dari total 556 biji. Berdasarkan nisbah fenotip 9:3:3:1 yang dapat diharapkan oleh Mendel sebenarnya adalah 9/16 x 556 = 312,75 biji bulat, kuning : 3/16 x 556 = 104,25 biji bulat, hijau : 3/16 x 556 = 104,25 biji keriput, kuning : 1/16 x 556 = 34,75 biji keriput, hijau. Seberapa baik percobaan Mendel tersebut dibandingkan harapan dapat dihitung dengan
χ2 = Σ (O-E)2 / E = (315 – 312,75)2 / (312,75) + (108-104,25)2 / (104,25) + (101-104,25)2 / (104,25) + (32-34,75)2 / 34,75
χ2 = 0,016 + 0,135 + 0,101 + 0,218 = 0,470 dengan db = 4 fenotipe – 1 = 3 dicocokkan pada Tabel χ2 (Fisher dan Yates, 1943):
Derajat bebas P = 0,99 0,95 0,80 0,50 0,20 0,05 0,01
1 0,000157 0,00303 0,0642 0,455 1,642 3,841 6,635
2 0,020 0,103 0,446 1,386 3,219 5,991 9,210
3 0,115 0,352 1,005 2,366 4,642 7,815 11,345
4 0,297 0,711 1,649 3,357 5,989 9,448 13,277
5 0,554 1,145 2,343 4,351 7,289 11,070 15,086
6 0,872 1,635 3,070 5,348 8,558 12,592 16,812
7 1,239 2,167 3,822 6,346 9,803 14,067 18,475
8 1,646 2,733 4,549 7,344 11,030 15,507 20,090
9 2,088 3,325 5,380 8,343 12,242 16,919 21,666
10 2,558 3,940 6,179 9,342 13,442 18,307 23,209

Dari tabel tersebut χ2 = 0,407 (db=3) terletak pada P=0,80 – 0,95, sehingga dapat disimpulkan bahwa percobaan Mendel tersebut sesuai dengan harapan nisbah fenotipe 9:3:3:1 sebesar 80-90%.

Wednesday, October 21, 2009

Sekilas Tentang Dormansi

Dormansi, yaitu peristiwa dimana benih mengalami masa istirahat (Dorman). Selanjutnya didefinisikan bahwa Dormansi adalah suatu keadaan dimana pertumbuhan tidak terjadi walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya perkecambahan.
 PENYEBAB TERJADINYA DORMANSI
Benih yang mengalami dormansi ditandai oleh :
* Rendahnya / tidak adanya proses imbibisi air.
* Proses respirasi tertekan / terhambat.
* Rendahnya proses mobilisasi cadangan makanan.
* Rendahnya proses metabolisme cadangan makanan.
Kondisi dormansi mungkin dibawa sejak benih masak secara fisiologis ketika masih berada pada tanaman induknya atau mungkin setelah benih tersebut terlepas dari tanaman induknya. Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit biji dan keadaan fisiologis dari embrio atau bahkan kombinasi dari kedua keadaan tersebut.
Secara umum menurut Aldrich (1984) Dormansi dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu :
* Innate dormansi (dormansi primer)
* Induced dormansi (dormansi sekunder)
* Enforced dormansi
Sedangkan menurut Sutopo (1985) Dormansi dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu :
* Dormansi Fisik, dan
* Dormansi Fisiologis












Tipe dormansi
Karakteristik
Contoh spesies
Metode pematahan dormansi
Alami
Buatan
Immature embryo
Benih secara fisiologis belum mampu berkecambah, karena embryo belum masak walaupun biji sudah masak
Fraxinus excelcior, Ginkgo biloba, Gnetum gnemon
Pematangan secara alami setelah biji disebarkan
Melanjutkan proses fisiologis pemasakan embryo setelah biji mencapai masa lewat-masak (after-ripening)
Dormansi mekanis
Perkembangan embryo secara fisis terhambat karena adanya kulit biji/buah yang keras
Pterocarpus, Terminalia spp, Melia volkensii
Dekomposisi bertahap pada struktur yang keras
Peretakan mekanis
Dormansi fisis
Imbibisi/penyerapan air terhalang oleh lapisan kulit biji/buah yang impermeabel
Beberapa Legum & Myrtaceae
Fluktuasi suhu
Skarifikasi mekanis, pemberian air panas atau bahan kimia
Dormansi chemis
Buah atau biji mengandung zat penghambat (chemical inhibitory compound) yang menghambat perkecambahan
Buah fleshy (berdaging)
Pencucian (leaching) oleh air, dekomposisi bertahap pada jaringan buah
Menghilangkan jaringan buah dan mencuci bijinya dengan air
Foto
dormansi
Biji gagal berkecambah tanpa adanya pencahayaan yang cukup. Dipengaruhi oleh mekanisme biokimia fitokrom
Sebagian besar spesies temperate, tumbuhan pioneer tropika humida seperti eucalyptus dan Spathodea
Pencahayaan
Pencahayaan
Thermo
dormansi
Perkecambahan rendah tanpa adanya perlakuan dengan suhu tertentu
Sebagian besar spesies temperate, tumbuhan pioneer daerah tropis-subtropis kering, tumbuhan pioneer tropika humida
Penempatan pada suhu rendah di musim dingin
Pembakaran
Pemberian suhu yang berfluktuasi
Stratifikasi atau pemberian perlakuan suhu rendah
Pemberian suhu tinggi
Pemberian suhu berfluktuasi