Pages

Saturday, October 03, 2009

Amensalisme

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada suatu komunitas, terdapat suatu keadaan dimana tumbuh kembang spesiesnya dipengaruhi oleh anggota atau spesies lain. Peristiwa tersebut merupakan suatu interaksi antara dua atau lebih spesies. Suatu interaksi dapat bersifat positif dan negatif, bahkan tidak menimbulkan efek apapun (Anonim, 2009).

Senyawa-senyawa kimia yang mempunyai potensi alelopati dapat ditemukan di semua organ tumbuhan, termasuk daun, batang, akar rhizoma, bunga, buah dan biji. Senyawa alelopati dilepaskan melalui organ tumbuhan dengan berbagai cara, yaitu : penguapan eksudat akar, pencucian, dan pembusukan bagian organ yang mati. Alelopati sendiri merupakan senyawa yang dapat menekan perkecambahan serta pertumbuhan tanaman. Peristiwa terhambatnya proses perkecambahan dan pertumbuhan tersebut merupakan salah satu contoh interaksi yang bersifat negatif. Di dalam percobaan ini, akan dibuktikan pengaruh alelopati tumbuhan akasia (Acacia auricuriformis) terhadap perkecambahan kacang tanah (Arachis hypogaea)dan biji jagung (Zea mays) (Anonim, 2009).

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang muncul pada percobaan ini adalah bagaimana pengaruh ekstrak alelopati akasia (Acacia auriculiformis) terhadap perkecambahan.biji kacang tanah (Arachis hypogaea) dan biji jagung (Zea mays).

1.3 Tujuan

Percobaan ini bertujuan untuk megetahui pengaruh ekstrak alelopati akasia (Acacia auriculiformis) terhadap perkecambahan kacang tanah (Arachis hypogaea) dan jagung ( Zea mays).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alelopati

Dalam beberapa macam hubungan terjadilah reaksi fisiologis yang yang melibatkan dihasilkannya dan dikeluarkannya senyawa organik oleh tumbuhan, yang mungkin menghambat atau menghalangi pertumbuhannya sendiri. Atau pertumbuihan tumbuhan lain dalam habitat itu. Berbagai kajian baru-baru ini menunjukkan bahwa senyawa organic yang bersangkutan itu sering merupakan fitotoksin, terutama fenol dan terpena yang dibebaskan oleh tumbuhan tertentu ke dalam lingkungannya sebagai lindian daun atau getak akar. Kehadiran tumbuhan yanag mengeluarkan bahan kimia seperti itu menghambat perumbuhan spesies lain di sekitranya. Pengaruh bahan kimia itu dapat menyebabakan pertumbuahn yang sama sekali terhambat, pertumbuhan terbantut, atau terlambat. Apabila terjadi pertumbuhan yang sama sekali terhambat, maka akibatnya dapat terlihat dalam bentuk daerah gundul di sekitar pohon yang menggetahkan bahan kimia itu. Gejala ini sekarang dikenal sebgai alelopati (Ewuise, 1990).

Dalam interaksi alelokemis, tumbuhan bersaing secara interaksi biokimia, yaitu salah satu tumbuhan mengeluarkan/mengekskresikan senyawa beracun ke lingkungan sekitarnya dan pada akhirnya dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuhan yang lain yang berbeda di lingkungan tersebut. Gangguan-gangguan tersebut antara lain adalah gangguan perkecambahan biji, kecambah menjadi abnormal, pertumbuhan memanjang akan terhambat, perubahan susunan sel sel akar dan lain sebagainya. (Molles, 1999).

Prinsip utama ialah bahwa pengaruh yang negatif itu berkecenderungan secara kuantitatif menjadi kecil dimana populasi yang berinteraksi itu mempunyai sejarah evolusi bersama di dalam ekosistem yang relatif mantap. Dengan kata lain, seleksi alam cenderung untuk membwa pengurangan di dalam pengaruh yang merugikan atau untuk melenyapkan interaksi bersama, karena tekanan yang kuat yang berkelanjutan dari mangsa atau populasi parasit hanya dapat mengakibatkan pemusnahan dari suatu atau kedua populasi itu. Akibatnya, interaksi yang kuat sering sekali dijumpai apabila interaksi itu masih baru (yakni apabila kedua populasi itu baru saja diasosiasikan) atau apabila telah terjadi perubahan-perubahan secara besar-besaran atau mendadak (barangkali sementara) di dalam ekosistem (seperti yang mungkin dapat dibuat oleh manusia). Hal ini dapat membawa kepada apa yang dapat disebut ”prinsip dari patogen dadakan” yang menerangkan mengapa introduksi yang kurang atau tidak direncanakan sering berakibat dalam masalah epiemik (Odum, 1983).

Alelopati dianggap sebagai mekanisme negatif dari tanaman lain, karena alelopati mengeluarkan senyawa beracun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman lain. Dalam allelokhemis ini terdapat tiga faktor lingkungan yang pokok dan berpengaruh yaitu klimatik, edafik dan biotik.

a. Faktor klimatik, terdiri atas cahaya, temperature, angin, dan air serta aspek musiman dari faktor-faktor tersebut.

b. Faktor edaphik, factor-faktor tanah yang turut menentukan distribusi gulma antara lain, kelembaban tanah, pH tanah, aerasi, unsur nutriens dan lain-lain.

c. Faktor biotik, tumbuhan dan hewan merupakan factor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan gulma dan membatasi distribusinya.

Pada suatu percobaan berupa pemberian senyawa alelopati dari Imperata cylindrica pada semaian Vigna vulgare menunjukkan bahwa pemberian senyawa alelopati dapat menghambat pertumbuhan perkecambahan (pada perlakuan daun), dan pada perlakuan akar dan daun terlihat pertumbuhan yang sangat lambat dan semakin terhambat oleh/sering bertumbahnya pemberian konsentrasi senyawa allelopathy (Odum, 1983).

Beberapa spesies tanaman (biasanya lebih berperan sebagai gulma pada lahan pertanian) yang diketahui dapat mengeluarkan senyawa-senyawa allelopathy antara lain adalah alang-alang (Imperata cylindrica), teki (Cyperus rotundus), Salvia leucophyella, Agropyron intermedium, Cyperus esculentus, dan rumput grinting (Cynodon dactylon) serta beberapa spesies dari graminae yang lain (Stilling, 1999).

2.2 Perkecambahan

Definisi bagi istilah perkecambahan, tergantung pada sudut pandang. Seorang analis biji mungkin menyetujui sebagai suatu perubahan morfologis, seperti penonjolan kar lembaga (radikula), tetapi bagi seorang petani, perkecambahan berarti munculnya semai. Secara teknis, perkecambahan berarti permulaan munculnya pertumbuahan aktif yang menghasilkan pecahnya kulit bihi dan munculnya semai. Perkecambahan meliputi peristiwa-peristiwa fisiologis dan morfologis berikut :

1. Imbibisi dan absorpsi air

2. Hidrasi jaringan

3. Absorpsi O2

4. Pengaktifan enzim pencernaan

5. Trnaspor molekul yang terhidrolisis ke sumbu embrio

6. Peningkatan respirasi dan asimilasi

7. Inisiasi pembelahan dan pembesaran sel

8. Munculnya embrio

Puncak imbibisi pada biji selada terjadi dalam waktu 2 jam, sedangkan respirasi mulai setelah jam ke-2 dan mencapai puncak pertamanya pada jam ke-8. setelah puncak respirasi pertama, puncak respirsi kedua dimulai kira-kira pada jam ke-16 dan mencapai maksimum pada jam ke-24 atau lebih. Dua puncak tersebut di tafsirkan berhubungan berturut-turut dengan hidrolisis kimia dan sintesis. Mitosis jelas kelihatan pada jam ke-12 dan mencapai puncaknya pada jam ke-16. Ontogeni perkecambahan mengikuti dua fase metabolik yang berbeda : Hidrolisis secara enzimatik terhadap cadangan yang disimpan dan sintesis jaringan baru dari senyawa yang dihidrolisis (yaitu dari gula ,asam amino, asam lemak, dan mineral yang dibebaskan). Pada pertumbuhan sumbu embrio, awal mula pertumbuhan akar lembaga (radikula) lebih cepat daripada pucuk lembaga (plumula) dan umumnya radikula pertama muncul dari kulit biji yang pecah. Berat kering pada pucuk melampui berat kering akar dalam waktu beberapa hari. Berat keseluruhan semai biji mengalami kemunduran dalam waktu kira-kira 10 hari karena kehilangan respirasi. Suatu urutan pertumbuhan dengan pertumbuhan akar mendahului pertumbuhan pucuk, tampaknya menguntungkan bagii kelangsungan hidup suatu semai (Franklin, 1991).

Fitohormon memulai dan pemperantasi proses perkecambahan yang penting. Terdapat beberapa aktivitas hormon pertumbuhan yang dikenal:

1.Giberelin menggiatkan enzim hidrolitik dalam pencernaan

2.Sitokinin merangsang pembelahan sel, menghasilkan munculnya akar lembaga dan pucuk lembaga. Perluasan awal pada koleoriza (munculnya ujung akar) terutama karena pembesaran sel

3.Auksin meningkatkan pertumbuahn karena pembesaran koleoriza, akar lembaga dan pucuk lembaga dan aktivitas geotropi (yaitu, orientasi yang benar pada pertumbuah n akar dan pucuk, terlepas dari orientasi biji) (Franklin, 1991).

2.3 Germinabilitas (Kemampuan berkecambah) dan Viabilitas

Biji yang masak viabel (terkecambahkan) sebelum terpisah atau saat berpisah dengan tumbuahn induknya, tetapi biji tersebut mungkin tidak dapat dikecambahkan (mampu berkecambah dengan cepat dalam kondisi yang menguntungkan). Biji pada bebeberapa spesies adalah dorman dan dapat menjadi dikecambahkan hanya sesudah dikenai kondisi khusus tertentu. Pada umumnya viabilitas mengalami penurunan dan germinalitas mengalami peningkatan sejalan dengan umur, karena secara alami terjadi pemecahan faktor-faktor dormansi pada biji (Franklin, 1991).

2.4 Syarat-syarat Bagi perkecambahan

2.4.1 Lingkungan

Air, temperatur tidak membatasi, dan udara yang cocok diperlukan bagi perkecambahan biji yang tidak mengalami dormansi atau biji sesudah matang. Umumnya, kondisi yang baik bagi pertumbuhan semai, juga baik bagi perkecambahan. Biji pada spesies yang berbeda, bagaimanapun juga mempunyai perbedaan genetis dan lingkunagn yang dapat menentukan dormansi (Franklin, 1991).

2.4.2 Air

Imbibisi air merupakan awal proses perkecambahan. Biji yang hidup dan mati, keduanya melakukan imbibisi air dan membengkak; banyaknya ait imbibisi tergantung pada komposisi kimia biji. Protein, getah dan pectin lebih bersifat koloid dan hidrofilik dan lebih banyak mengalami imbibisi air daripada zat tepung. Kelemabapan tanah pada kapasitas lapang umumnya optimal bagi perkecambahan. Laju perkecambahan berlangsung lebih lambat pada kelemabapan tanah yang mendekati titk layu. Kandungan air yang kurang dari batas optimum biasanya menghasilkan imbibisi sebagian dan memperlambat atau menahan perkecambahan, tetapi biasanya tidak tanpa kehilangan viabilitas, yang besarnya tergantung pada spesies dan banyaknya daur basah dan kering (Franklin, 1991).

2.4.3 Temperatur

Proses perkecambahan juga meliputi sejumlah proses katabolisme dan anabolisme yang dikendalikan enzim dan karenanya sangat responsive terhadap temperature. Temperatur cardinal (maksimum, optimum dan minimum) untuk perkecambahan pada kebanyakan biji tanaman budidaya pada dasarnya merupakan temperature cardinal untuk pertumbuhan vegetatif yang normal.

Tabel 2.8.3 Rentangan suhu terjadinya perkecambahan pada biji yang berbeda

Biji

Temperatur (◦C)

Minimum

Optimum

Maksimum

Jagung

8 – 10

32 - 35

40 – 44

Padi

10 -12

30 – 37

40 – 42

Gandum

3 – 5

15 – 31

30 – 43

Barli

3 – 5

19 – 27

30 - 40

Gandum Hitam

3 – 5

25 – 31

30 – 40

Oat

3 – 5

25 – 31

30 – 40

BuckWheat

3 – 5

25 – 31

35 – 45

Field bindweed

0,5 – 3

20 – 35

35 – 40

Tembakau

10

24

30

Temperatur optimum adalah temperature yang memebrikan persentasi perkecamhbahan yang paling tinggi dalam periode waktu yang paling pendek (Franklin , 1991).

2.4.4 Gas

Perkecambahan memerlukan tingkatan O2 yang tinggi, kecuali bila respirasi yang berhubnungan dengan hal ini terjadi karena fermentasi. Kebanyakan spesies memberikan respons yang baik terhadap komposisi udara normal : 20%O2, 0,03% CO2 , dan 80%N. Penurunan kandungan O2 udara di bawah 20% biaanya menurunkan kegiatan perkecambahan. Perkemabnagn biji pada kebanyakan spesies berlangsung dengan baik pada kandungan O2 udara normal atau pada konsentrasi )2 yang lebih tinmggi. Umumnya tanah yang drainasenya kurang baik memebrikan tmosfer yang kurang baik memberikan atmosfer yanmg kurang optimum untuk perkecambahan (Franklin , 1991).

2.4.5 Cahaya

Bahwa biji dari banyak spesies membutuhkan cahaya untuk perkecambahan. Sekelompok ilmuwan USPA secara menyakinkan memepertunjukkan bahwa mekanisme respons terhadap perkecambahan biji, sama dengan mekanisme pengedalian proses formatif lainnya, seperti pembuangan, pembentukan pigmen, pemanjangan batang dan pelurusan kait hipokotil (Franklin, 1991).

BAB III

METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol minuman 1500 ml, gelas ukur 500 ml, pipet tetes, sentrifuse, sapu tangan, petridish, alat hitung dan alat ukur.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang diperlukan adalah tumbuhan penghasil alelokemis yaitu Acacia auriculiformis..

3.2. Cara Kerja

3.2.1 Formulasi ekstrak alelokemis

Bahan yang diambil sebagaimana tersebut diatas, digunakan sebagai sumber alelopati. 50 gram bahan segar diblender dengan 200 ml air, disentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3440 rpm. Supernatanya dipisahkan dan ditambahkan air hingga volume 500 ml. Konsentrasi ekstrak yang didapat dari prosedur ini adalah 10%.

3.2.2 Uji Laboratorium

Cawan petri berdiameter 9 cm dilapisi dengan 2 kertas saring. 10 biji masing-masing untuk kacang tanah dan jagung diletakkan dalam tiap peridish yang dibasahi dengan 4 ml larutan yang disesuaikan dengan perlakuan. Kelembaban media tumbuh dijaga selama praktikum berlangsung dengan menambahkan larutan formulasi sesuai dengan perlakuan. Untuk kontrol digunakan air basah.

Pengamatan dilakukan mulai hari ke 0 dan diakhiri hari ke 9 dengan variabel yang diamati meliputi daya kecambah (%) dengan menghitung banyaknya biji yang mampu berkecambah, panjang akar (mm) diukur pada hari terakhir pengamatan, keracunan bahan uji (kacang dan jagung) dilakukan dengan mebandingkan dengan kontrol.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

4.1.1 Penetesan Ekstrak Alelopati Pada biji jagung (Zea mays)

Hari

Pertumbuhan biji jagung (Zea mays) [cm]

ke-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

3

0,3

-

1,5

-

2,7

-

-

-

-

0,5

4

0,8

0,4

2,1

0,3

3,3

-

-

0,3

1

0,5

5

0,8

0,5

6,8

0,3

5,4

-

-

0,3

1

0,5

6

0,8

0,3

6,8

0,4

11,5

-

-

0,4

-

0,3

7

1,3

0,3

6,5

0,3

5,7

-

-

0,5

-

0,3

8

1,3

0,3

6,5

0,3

5,7

-

-

0,5

-

0,3

9

1,3

0,5

7

0,3

6,5

-

-

0,5

-

0,3

4.1.2 Penetesan Ekstrak Alelopati Pada biji kacang tanah (Arachis hypogaea)

Hari ke

Pertumbuhan biji kacang tanah (Arachis hypogaea) [cm]


1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

0.2

0.3

0.1

0

0.3

0.3

0.2

0.1

0.2

2

1

0.3

0.3

0.3

0.4

0.4

0.3

0.3

0.3

0.3

3

2.3

1.8

1.7

0.7

1.7

2.5

2.6

0.5

1

0.7

4

3.4

2.5

2.4

1

2.4

3.5

3.2

0.9

1.6

1

5

5

3

2.5

1.3

2.7

4.1

3.5

1

2

1

6

6

4

3

1.2

3

4

1*

1

2.5

1.3

7

4

2.5

2

1.5

1.5

3.5

1.5

0.5

2

1.5

8

4

2.5

2

1.5

1.5

3.5

1.5

0.5

2

1.5

9

5

2.5

2

1.5

1.5

3.5

1.5

0.5

2

1.5

4.1.3 Kontrol Perlakuan biji jagung (Zea mays)

Hari

Pertumbuhan biji jagung (Zea mays) [cm]

ke-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

0,1

-

-

-

-

-

0,3

-

0,5

-

2

0,1

-

-

-

-

-

0,3

-

0,5

-

3

0,2

0,3

-

-

-

0,2

0,5

-

2,1

-

4

0,4

0,6

-

-

-

0,4

0,5

-

4,9

-

5

0,5

0,8

-

-

-

3,2

0,6

-

8

-

6

0,5

2,2

-

-

-

4,3

1,3

-

9,3

-

7

1,3

3,8

-

-

-

5,4

1,5

-

9,3

-

8

2,5

3

-

-

-

7

1,7

-

9,3

-

9

2,6

2,8

-

-

-

7,6

2

-

9,3

-

4.1.4 Kontrol Perlakuan biji kacang tanah (Arachis hypogaea)

Hari Ke

Pertumbuhan biji kacang tanah (Arachis hypogaea) [cm]

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2

0,2

-

0,1

0,3

-

-

0,1

0,1

0,3

0,3

3

0,3

-

0,2

0,4

-

-

0,1

0,3

0,4

0,3

4

0,8

1,2

1,7

-

0,9

0,5

0,5

0,3

0,8

0,7

5

1,2

1,1

2,3

-

1,3

0,9

0,9

4,3

1,4

1,6

6

1,4

1,5

3,5

-

1,5

1

1,4

4,9

2,4

1,9

7

1,5

2

3,5

-

1,5

1,2

1,4

4,9

2,4

2

8

1,5

2,5

3,8

-

2

1,2

1,4

4,9

2,5

2,1

9

1,5

2,5

3

-

2

1,2

1,4

4,5

2,3

2

10

1,5

2,5

3

-

2,2

1,2

1,4

4,2

2,3

1,6

4.2 Pembahasan

4.2.1 Tujuan dan Perlakuan

Praktikum amensalisme ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senyawa alelopati terhadap perkecambahan biji Zea mays dan Arachis hypogaea. Pada percobaan ini biji Zea mays dan Arachis hypogaea direndam dengan air sebelum disemaikan. Perendaman ini bertujuan untuk mempercepat proses perkecambahan. Perendaman hanya semalam agar biji tidak menggembung atau membusuk. Kemudian biji ditiriskan pada media baru berupa kapas yang dibasahi dengan air untuk menumbuhkan kecambah tersebut. Media ini harus selalu basah , tetapi air yang digunakan tidak boleh menggenangi biji karena dapat memunculkan jamur sehingga biji akan membusuk dan mati. Kelembaban diperlukan oleh biji untuk dapat berkecambah dan tumbuh dengan baik.

Senyawa alelokemis yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan tanaman berasal dari tanaman Acacia auricuriformis dimana bagian yang digunakan berupa daun. Sejumlah daun dari tanaman tersebut kemudian diekstrak dengan cara diambil daun Acacia auricuriformis sebanyak 50 gr kemudian diekstrak menggunakan blender dengan 200 ml air. Setelah dihancurkan, selanjutnya ekstrak disaring dengan kain yang poro-porinya tidak terlalu besar. Awalnya ekstrak yang telah dihasilkan berwarna hijau muda. Namun , setelah disentrifuge selama 10 menit warna larutan berubah menjadi orange. Perlakuan ini bertujuan untuk memisahkan filtrat dengan endapan. Kemudian , filtrat diletakkan di dalam beker gelas dan ditambahkan aquades sebanyak 500 ml untuk dibuat larutan alelokemis. Sementara itu , endapan hasil sentrifuge dibuang karena tidak digunakan. Hasil pembuatan ekstrak alelopati dimasukkan pada wadah botol air mineral berukuran 600 ml. Botol berisi ekstrak alelopati disimpan di tempat yang sejuk dengan tutup yang sedikit dilubangi supaya bau yang dihasilakan oleh ekstrak alelopati segera menghilang.


Gambar. 4.1 Proses Pembuatan Alelokemis

(Sumber : Penulis, 2009)

Biji jagung dan kacang tanah yang telah diletakkan pada media tanam , ditetesi ekstrak alelokemis sebanyak 4 ml. Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman normal atau tidak maka dibuat tanaman yang hanya ditetesi aqudes/air keran sebanyak 4 ml sebagai kontrol perlakuan dan hasilnya dibandingkan dengan tanaman yang ditetesi dengan alelokamis. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai hari ke nol sampai hari ke sembilan dengan mengukur pertumbuhan panjang epikotil (daerah diatas kotiledon) dan hipokotil (bagian kecambah di bawah kotiledon). Berdasarkan pengamatan pertambahan panjang epikotil dan hipokotil pada kecambah pada dua perlakuan tersebut, nampak bahwa biji yang tidak ditetesi ekstrak alelokemis mengalami pertumbuhan lebih cepat daripada biji yang ditetesi ekstrak alelokemis Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan kecambah akan terhambat bila terkena senyawa alelokemis dari tumbuhan lain.

Gambarb. 4.2 Biji Zea mays dan Arachis hypogea

Grafik 4.1 Pertumbuhan Bji Zea mays dengan ekstrak alelokemis




Grafik 4.2. Pertumbuhan biji Arachis hypogaea dengan ekstrak alelokemis

Dari grafik diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan biji Zea mays (Grafik 4.1) dan kacang tanah (Grafik 4.2) mengalami kemajuan pesat di hari ke-5 sampai ke-7. Adanya Alelokemis menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat sehingga grafik menurun. Alelokemis merupakan suatu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan alelopati Senyawa tersebut merupakan senyawa beracun yang biasanya berupa fenol dan terpeten. Pemberian senyawa alelopati dapat menghambat pertumbuhan perkecambahan (pada perlakuan daun). Hal ini dapat dilihat pada perlakuan akar dan daun yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat lambat dan semakin terhambat seiring bertambahnya pemberian konsentrasi senyawa allelopathy. Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995) proses tersebut diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran. Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino nonprotein, sulfida serta nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig, 1995). Berikut adalah gambar bagaimana alelopati menghambat pertumbuhan tanaman lain:

Gambar. 4.3 Model mekanisme penghambatan Alelokemis Fenolat (Einhellig, 1995)

Alelopati tentunya menguntungkan bagi spesies yang menghasilkannya, namun merugikan bagi tumbuhan sasaran. Oleh karena itu, tumbuhan-tumbuhan yang menghasilkan alelokimia umumnya mendominasi daerah-daerah tertentu, sehingga populasi hunian umumnya adalah populasi jenis tumbuhan penghasil alelokimia. Dengan adanya proses interaksi ini, maka penyerapan nutrisi dan air dapat terkonsenterasi pada tumbuhan penghasil alelokimia dan tumbuhan tertentu yang toleran terhadap senyawa ini. Senyawa alelokemis memberikan efek yang bersifat mencegah spesies akan bertunas dan tanaman yang baru tumbuh, mungkin dihubungkan ke kehadiran zat senyawa alelokemis pada Acacia ariculiformis yang mengandung termasuk samak, lilin, flavonoide dan phenolic asam. Selanjutnya, toxiciti boleh dalam kaitan dengan efek sinergistik daripada tunggal. Asam phenolic telah menunjukkan efek beracun pada proses bertunasnya suatu tanaman dan pertumbuhan tanaman (Oyun,2006).

Grafik 4.3 Kontrol perlakuan biji Zea mays




Grafik 4.4 Kontrol Perlakuan biji Arachis hypogaea

Prosentase toksisitas perkecambahan biji yang ditetesi senyawa alelokemis dibandingkan dengan tanaman kontrol yaitu tanaman Zea mays 80% dan Arachis hypogaea 100% sedangkan pada kontrol yaitu Zea mays 80% dan Arachis hypogaea 60%. Dari grafik (Grafik 4.3 dan 4.4) terlihat bahwa dengan perlakuan normal tanpa penambahan larutan alelokemis menunjukkan pertumbuhan tanaman yang juga normal. Namun ada biji yang tidak tumbuh ataupun ditengah-tengah pertumbuhan mengalami kematian. Hal ini disebabkan oleh beberapa kegagalan. Kegagalan ini mungkin saja dapat disebabkan oleh berbagai faktor misalnya:

- Pada awalnya digunakan biji yang kurang bagus, sehingga proses pertumbuhan menjadi tidak sempurna.

- Pemberian senyawa alelokemis yang terlalu banyak sehingga tumbuhan menjadi mati.

- Media kering atau berjamur, karena kesalahan prosedur praktikum oleh praktikan

4.2.2 Alelopati di Alam

Salah satu contoh interaksi alelopati di alam terdapat pada hutan pinus. Jika kita mencermati dengan seksama , pada dasar hutan pinus tidak terdapat vegetasi apapun. Hal ini dikarenakan kondisi tanah pada hutan pinus bersifat sangat asam.

Tumbuhan pinus sendiri berinteraksi dengan bakteri yang menempel pada akarnya (mikoriza). Mikoriza tersebut akan menyebabkan daerah penyerapan air pada pohon pinus bertambah luas. Selain itu, dengan keberadaa Mikoriza pinus tidak kekurangan pupuk atau zat hara yang dibutuhkannya. Akan tetapi, zat hara itu menghambat pertumbuhan vegetasi teduhan pada hutan pinus. Keadaan seperti inilah yang dinamakan alelopati.

BAB V

KESIMPULAN

Setelah melakukan percobaan dapat disimpulkan bahwa senyawa alelopati akasia (Acacia auricuriformis) menghambat perkecambahan biji jagung dan kacang tanah. Persentase toksisitas pada kontrol perlakuan adalah 80% untuk biji jagung dan 60% untuk biji kacang tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim . 2009. Buku Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan . Program Studi Biologi ITS : Surabaya.

Einhellig. 1995. Allelopathy Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 – 24.

Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB Press: Bandung.

Gardner. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press: Jakarta.

Michael, P. 1994. Metode untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI PRESS : Jakarta.

Molles. 1999. Ecology, Concept and Application. McGrawHill Company Inc: New York.

Odum, E. 1995. Dasar-Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. UGM Press: Yogyakarta.

Rice. 1984. Allelopathy, Second Edition. Orlando FL: Academic Press.

Stilling. 1999. Ecologi: Theories and Apication,Third edition. Pretice-Hall Inc: Upper Saddle River: New Jersey.

No comments: