Pages

Saturday, March 12, 2011

Mengenal Resin Dan Lateks


Definisi Umum Resin
Resin adalah cairan getah lengket yang dipanen dari beberapa jenis pohon hutan. Spesimen resin yang ditemukan di situs-situs prasejarah merupakan bukti bahwa kegiatan pengumpulan hasil hutan sudah sejak lama dilakukan. Hutan-hutan alam Indonesia menghasilkan berbagai jenis resin. Terpentin (resin Pinus) dan kopal (resin Agathis) pernah menjadi resin bernilai ekonomi yang diperdagangkan dari Indonesia sebelum Perang Dunia II. Pada awalnya masyarakat mengetahui bahwa resin dihasilkan oleh tanaman gymnospermae, tetapi saat ini banyak tanaman angiospermae yang dapat digunakan sebagai penghasil resin. Contohnya adalah jagung (Zea mays) dan gaharu (Aquilaria malaccensis).
Richana (2007) menyebutkan bahwa tongkol jagung banyak sekali mengandung senyawa xylan yang merupakan bahan baku industry furfural dan gula. Sebagai bahan baku industri, xilan dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan pembuatan nilon dan resin. Hidrolisis xilan menghasilkan furfural yang dapat digunakan sebagai bahan pelarut industri minyak bumi, pelarut reaktif untuk resin fenol, disinfektan serta sebagai bahan awal untuk memproduksi berbagai bahan kimia dan polimer lainnya (Mansilla et al., 1998). Sedangkan pada tanaman gaharu resin berupa fitoaleksin yang berwarna coklat dengan aroma yang khas sehingga resin dari tanaman ini lebih sering digunakan sebagai bahan baku minyak wangi.
Pada umumnya resin digunakan sebagai obat tradisional, astringent dan detergen yang diberikan pada penderita diare dan disentri. Resin juga digunakan sebagai salep untuk penyakit kulit dan menyembuhkan gangguan pendengaran, kerusakan gigi, sakit mata, bisul dan luka (Appanah dan Turnbull 1998).

Damar
Damar adalah istilah yang umum digunakan di Indonesia untuk menamakan resin dari pohon-pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae dan beberapa suku pohon hutan lainnya. Sekitar 115 spesies, yang termasuk anggota (tujuh dari sepuluh) marga Dipterocarpaceae menghasilkan damar. Pohon-pohon tersebut tumbuh dominan di hutan dataran rendah Asia Tenggara, karena itu damar merupakan jenis resin yang lazim dikenal di Indonesia bagian barat. Biasanya, damar dianggap sebagai resin yang bermutu rendah dibanding kopal atau terpentin (Abang, 2009).
Ada dua macam damar yang dikenal umum, dengan kualitas yang jauh berbeda. Pertama adalah damar batu, yaitu damar bermutu rendah berwarna coklat kehitaman yang keluar dengan sendirinya dari pohon yang terluka. Gumpalan-gumpalan besar yang jatuh dari kulit pohon dapat dikumpulkan dengan menggali tanah di sekeliling pohon. Di seputar pohon-pohon penghasil yang tua biasanya terdapat banyak sekali damar batu. Jenis kedua adalah damar mata kucing; yaitu damar yang bening atau kekuningan yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal, yang dipanen dengan cara melukai kulit pohon (Simpson, 2001). Sekitar 40 spesies dari genus Shorea
dan Hopea menghasilkan damar mata kucing, di antaranya yang terbaik adalah Shorea javanica dan Hopea dryobalanoides.
Sejak tiga ribu tahun yang lalu, damar telah memasuki jalur perdagangan jarak pendek di Asia Tenggara. Damar mungkin juga sudah menjadi produk dagang jarak jauh pertama yang berkembang antara Asia Tenggara dengan Cina di antara abad ke III dan ke V. Pada abad ke X damar kembali muncul dalam daftar produk-produk yang dijual ke Cina dari Asia Tenggara. Sedangkan ekspor damar ke Eropa dimulai pada tahun 1829 dan ke Amerika pada tahun 1832. Di daerah penghasilnya, damar digunakan sebagai bahan untuk penerangan dan mendempul perahu. Secara tradisional, damar juga diperdagangkan sebagai dupa, bahan pewarna, perekat dan obat. Pada pertengahan abad XIX lalu, seiring dengan berkembangnya industri pernis dan cat di Eropa dan Amerika yang kemudian disusul dengan Jepang dan Hong Kong, damar mulai memperoleh nilai ekonomi baru. Tetapi sejak tahun 1940-an, damar mendapat saingan berat dari resin sintetik hasil pengolahan minyak bumi (petrokimia) yang lebih disukai kalangan industri.
Dewasa ini Indonesia merupakan satu-satunya negara penghasil damar di dunia. Sasaran utama penjualan damar adalah  pabrik-pabrik cat bermutu rendah di dalam negeri, sedangkan damar berkualitas tinggi diekspor terutama ke Singapura. Di Singapura, damar disortir dan diproses dan kemudian diekspor kembali sebagai dupa atau bahan baku untuk pabrik-pabrik cat di negara-negara industri. Pada tahun 1984 duapertiga dari produksi damar diserap oleh pasar lokal yakni pabrik-pabrik cat (60%), pembuatan dupa (24 %), dan industri batik tulis (16%). Diramalkan prospek pasar-pasar tersebut tingkatnya sedang sampai rendah terutama karena masuknya resin-resin petrokimia ke pabrik-pabrik cat lokal, dan juga karena tergesernya batik tulis oleh batik industri yang tidak membutuhkan damar. Pasar ekspor, yang menyerap sepertiga volume produksi, menuntut kualitas yang tinggi tetapi menawarkan prospek yang lebih baik. Secara teratur volume ekspor menunjukkan peningkatan, dari 1972 sampai 1983 tercatat kenaikan 250-400 ton per tahun.
Secara tradisional, damar digunakan sebagai bahan bakar obor penerang, penambal perahu, dan kerajinan tangan. Resin Dipterocarpaceae juga digunakan sebagai campuran resin aromatik yang berupa styrax benzoin (Stiracaceae) yang digunakan sebagai kemenyan dan obat-obatan. Damar secara luas digunakan sebagai kemenyan untuk upacara keagamaan dan sebagai desinfektan fumigant. Sejumlah besar damar juga dibutuhkan pada “Samagri” untuk kremasi jenazah. Damar dapat digunakan sebagai lilin pengeras pada industri semir, kertas karbon, pita mesin ketik, industri vernis, dan bantalan objek mikroskopik. Damar juga digunakan sebagai pelapis dinding dan atap, perekat kayu lapis dan asbes (Appanah dan Turnbull 1998).
Lebih jauh, damar juga digunakan pada berbagai kegiatan teknis seperti pembuatan cat, celupan batik, lilin pelayaran, tinta cetak, linoleum dan kosmetik. Triterpenes yang diisolasi dari damar telah digunakan sebagai media antivirus pada budidaya in vitro, untuk mengatasi penyakit Herpes simplex virus tipe I dan II (Poehland et al., 1996).  

Asal-Asul Lateks
Pada tahun 1493 Michele de Cuneo melakukan pelayaran ekspedisi ke Benua Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua Baru”. Dalam perjalanan ini ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah. Pohon - pohon itu hidup secara liar di hutan pedalaman Amerika. Penduduk Amerika mengambil getah dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang didapat kemudian dijadikan bola yang dapat dipantul - pantulkan. Bola ini disukai penduduk asli sebagai permainan. Penduduk Indian Amerika juga juga membuat alas kaki dan tempat air dari getah tersebut.
Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman Hevea. Hasil laporan Ekspedisi Peru ditulis dalam buku oleh Frenhneau tahun 1749 dengan menyebut nama tersebut. Freshneau juga menyertakan gambar dari tanamana tersebut. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1751, De La Condomine membuat usulan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tanamana Hevea ini. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar, tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas (Tjitrosoepomo, 2005). Di beberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.

Perkembangan Tanaman Karet
Pengenalan pohon Hevea membuka langkah awal yang sangat pesat ke arah zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, karet memiliki sejarah yang cukup panjang. Apalagi setelah ditemukan beberapa cara pengolahan dan pembuatan barang dari bahan baku karet, maka ikut berkembang pula industri yang mengolah getah karet menjadi bahan berguna untuk kehidupan manusia. 
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir. Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit berkurang (McMahon, 2007).
 Kulit karet dengan ketinggian 260 cm dari permukaan tanah merupakan bidang sadap petani karet untuk memperoleh pendapatan selama kurun waktu sekitar 30 tahun. Oleh sebab itu penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merisak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan, maka produksi karet akan berkurang. Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan faktor kesehatan tanaman (Setyamidjaja, 1993).
Lateks ialah cairan berwarna putih yang keluar dari pembuluh pohon karet bila dilukai. Pembuluh karet adalah suatu sel raksasa yang mempunyai banyak inti sel sehingga. Lateks ini juga disebut protoplasma. Lateks juga didefenisikan sebagai sistem fosfolipida yang terdispersi dalam serum. Lateks adalah disperse stabil (emulsi) polimer mikropartikel dalam media air. Lateks ditemukan di alam berupa cairan seperti susu dan terdapat pada 10% tumbuhan angiospermae. Lateks merupakan emulsi kompleks yang terdiri dari protein, alkaloid, karbohidrat, tannin, resin yang menggumpal karena terpapar udara (Agrawal, 2009). Bagi tumbuhan lateks berfungsi sebagai antimikroba, hama, ataupun penyakit (Agrawal, 2009). Beberapa penyakit yang kerap kali merusak tanaman karet adalah sebagai berikut :
  1. Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus)
Serangan jamur menyebabkan akar menjadi busuk dan apabila perakaran dibuka maka pada permukaan akar terdapat semacam benang-benang berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit dilepas.
B.     Penyakit Bidang Sadap
1.      Mouldy Rot yang disebabkan oleh jamur Ceratocystis fimbriata. Gejala serangan penyakit ini meliputi :
·         Mula-mula tampak selaput tipis berwarna putih pada bidang sadap didekat alur sadap. Selaput ini berkembang membentuk lapisan seperti beludru berwarna kelabu sejajar dengan alur sadap.
·         Apabila lapisan dikerok, tampak bintik-bintik berwarna coklat kehitaman.
·         Serangan bisa meluas sampai ke kambium dan bagian kayu.
·         Pada serangan berat bagian yang sakit membusuk berwarna hitam kecokelatan sehingga sangat mengganggu pemulihan kulit.
·         Bekas serangan membentuk cekungan berwarna hitam seperti melilit sejajar alur sadap. Bekas bidang sadap bergelombang sehingga menyulitkan penyadapan berikutnya atau tidak bisa lagi di sadap.
2.      Kering Alur Sadap (KAS) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan fisiologis dan penyadapan yang berlebihan. Gejala serangan yang terlihat meliputi :
·         Tanaman tampak sehat dan pertumbuhan tajuk lebih baik dibandingkan tanaman normal. Tidak keluar latek di sebagian alur sadap. Beberapa minggu kemudian keseluruhan alur sadap ini kering dan tidak me-ngeluarkan lateks.
·         Lateks menjadi encer dan Kadar Karet Kering (K3) berkurang.
·         Kekeringan menjalar sampai ke kaki gajah baru ke panel sebelahnya.
·         Bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat dan kadang-kadang terbentuk gum (blendok).
·         Pada gejala lanjut seluruh panel / kulit bidang sadap kering dan pecah-pecah hingga mengelupas.
3.      Jamur Upas
Penyebabnya adalah jamur Corticium salmonicolor. Gejala serangan penyakit ini adalah:
·         Stadium sarang laba-laba. Pada permukaan kulit bagian pangkal atau atas percabangan tampak benang putih seperti sutera mirip sarang laba-laba.
·         Stadium bongkol. Adanya bintil-bintil putih pada permukaan jaring laba-laba.
·         Stadium kortisium. Jamur membentuk selimut yaitu kumpulan benangbenang jamur berwarna merah muda. Jamur telah masuk ke jaringan kayu.
·         Stadium nekator. Jamur membentuk lapisan tebal berwarna hitam yang terdiri dari jaringan kulit yang membusuk dan kumpulan tetesan lateks yang berwarna coklat kehitaman meleleh di permukaan bagian terserang. Cabang atau ranting yang terserang akan membusuk dan mati serta mudah patah.
(Ingham, 1972).
Daftar Pustaka

Abang. 2009. Contoh Agroforesty. http://abang.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 November 2010 Pukul 19.45 WIB.
Agrawal AA, Konno K. 2009. Latex: A Model for Understanding Mechanisms, Ecology, and Evolution of Plant Defense Against Herbivory. Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst. 40:311–31.
Appanah, S dan Turn bull, J.M. 1998. A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology, and Silviculture. Center for International Forest Research. Bogor.
Ingham, John. 1972. Phytoalexin And Other Natural Products as Factors in Plant Disease Resistance. The Botanical Review 38 (3): 343-424.
Mansilla, H.D., J. Baeza, S. Urzua, G. Maturana, J. Villasenor and N. Duran. 1998. Acid-Catalyzed Hydrolysis of Rice Hull: Evaluation of Furfural Production. J.Bioresource Technol. 66:189-193
McMahon, Margaret, et. all. 2007. Hartmann’s Plant Science-Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. Pearson Prentice Hall : New Jersey.
Poehland, B.L., Carta, B. K., Francis, T. A., Hyland, L.J., Allaudeen, H.S. and Troupe, N. 1987. In-Vitro Antiviral Activity of Dammar Resin Triterpenoids. Jurnal of Natural Product 50: 706-713
Richana, Nur., dkk. 2007. Ekstraksi Xylan Dari Tongkol Jagung. Pascapanen. 4 (1): 38-43
Setyamidjaja, Djoehana. 1993. Budidaya dan Pengolahan Karet. Cetakan I. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Simpson, B.B and Molly, C.O.2001. Economic Botany Third edition, Plants in our World. McGraw-Hill International: Boston.
Tjitrosoepomo,Gembong. 2005. Morfologi Tumbuhan.UGM Press: Yogyakarta.

No comments: